Selasa, 18 Mei 2010

Komunitas Tionghoa , Bagian yang tak terpisahkan dari Bangsa Indonesia ( bag 1 )

KOMUNITAS TIONGHOA MERUPAKAN BAGIAN TAK TERPISAHKAN DARI BANGSA INDONESIA



Judul di atas merefleksikan keyakinan penulis bahwa apa yang dinamakan masalah Tionghoa merupakan bagian masalah bangsa Indonesia. Dengan demikian upaya memperbaiki posisi komunitas Tionghoa di Indonesia tidak bisa tidak harus berkaitan dengan upaya memperbaiki posisi Indonesia di bidang politik, hukum, social dan ekonomi secara keseluruhan.

Perkembangan politik Indonesia dan dunia selama 10 tahun belakangan ini mengubah posisi komunitas Tionghoa di dalam percaturan politik Indonesia. Pemerintahan Gusdur, diikuti dengan pemerintahan Megawati dan pemerintahan SBY membawa banyak kesejukan bagi komunitas Tionghoa.

Pada waktu yang bersamaan, Republik Rakyat Tiongkok muncul sebagai kekuatan ekonomi yang dihormati dunia. Ia memiliki funds dan resources yang bisa diandalkan, terutama oleh dunia yang masih berkembang seperti Indonesia. Cukup banyak delegasi resmi maupun tidak resmi yang kian mengunjungi RRT untuk berdagang. Bahkan cukup banyak di antara para pedagang Indonesia yang kini getol berdagang dengan Tiongkok ini dulu bersikap anti RRT.

Perkembangan ini menyebabkan terulangnya sejarah. Pemerintah Indonesia di zaman Demokrasi Terpimpin, terutama setelah tahun 1963, cenderung dekat dengan RRT karena alasan politik. Indonesia beraliansi dengan pihak New Forces melawan Old Forces (baca Amerika Serikat, Inggris dll). Sebagai akibatnya Indonesia tidak memperoleh bantuan yang diharapkan dari Amerika Serikat dan Inggris sehingga banyak tergantung atas bantuan RRT dan Uni Soviet.

Kini di zaman pemerintahan SBY, pemerintah Indonesia terlihat cenderung mendekati RRT. Kali ini bukan karena alasan politik akan tetapi karena alasan ekonomi. Kemampuan Amerika Serikat dan Jepang dalam memberi bantuan ke Indonesia menurun drastis sedangkan Tiongkok dengan pesat tumbuh menjadi kekuatan ekonomi yang bisa diandalkan.

Tidak bisa tidak kedekatan pemerintah RI dengan RRT di kedua zaman ini menciptakan situasi politik yang favorable terhadap komunitas Tionghoa. Sebuah situasi yang menimbulkan ilusi bahwa masalah Tionghoa di Indonesia sudah selesai. Banyak pedagang Tionghoa merasa bahwa mereka bisa kembali memusatkan perhatiannya untuk membuat keuntungan tanpa memiliki rasa perduli terhadap proses perbaikan yang seyogyanya menumpas KKN, mempercepat terwujudnya demokrasi dan memakmurkan Indonesia scara keseluruhan.

Ini menyebabkan animo banyak orang Tionghoa untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan politik yang sempat bangkit pada tahun 1998-1999, karena ada keyakinan bahwa reformasi akan turut menyelesaikan masalah Tionghoa, merosot drastis sejak Gusdur menjadi presiden. Kini yang terlihat hanya “asap”-nya saja, “api” yang pernah membara itu hampir padam.

Betulkah kedekatan pemerintah RI dengan pemerintah RRT dan adanya berbagai kebijakan positif pemerintah terhadap kebutuhan sosial komunitas Tionghoa – seperti diizinkannya pertunjukan Liang Liong dan Barongsai, dijadikannya istilah Tionghoa dan Tiongkok sebagai istilah resmi (menggantikan istilah Cina yang mengandung konotasi penghinaan) dan dijadikannya Imlek sebagai hari Nasional -- berarti komunitas Tionghoa bisa menganggap masalahnya selesai dan perjuangan untuk penyelesaiannya bisa dihentikan?

Tentunya tidak. Ilusi tergambar di atas sebenarnya berbahaya dan bilamana tidak diubah bisa menjerumuskan komunitas Tionghoa ke situasi yang sangat merugikan. Benih-benih rasisme bukan dihilangkan melainkan akan dengan cepat berkembang biak sehingga peristiwa-peristiwa anti Tionghoa mudah direkayasa oleh sementara pihak.

Timbullah pertanyaan, apakah keterlibatan komunitas Tionghoa dalam gerakan politik efektif dalam penyelesaian masalah Tionghoa? Apakah terjun ke dalam kegiatan politik tidak berbahaya untuk komunitas Tionghoa secara keseluruhan? Jalur apakah yang harus ditempuhnya, terpisah dari arus induk atau merupakan bagian darinya?

Jawabannya harus dikaitkan dengan pengamatan sejarah. Marilah kita perhatikan perkembangan politik yang berkaitan dengan komunitas Tionghoa di beberapa zaman, di mulai dari zaman penjajahan .

Kegiatan Politik di Zaman Penjajahan

Komunitas Tionghoa mulai secara sistimatik berkecimpung dalam gerakan politik sebagai respons dari bangkitnya nasionalisme Tiongkok yang mencapai puncaknya pada tahun 1920-an. Gearakan ini dipimpin oleh mereka yang bergabung dalam kelompok Sin Po, yaitu kelompok yang mendukung idealisme yang disebarluaskan oleh harian Sin Po. Mereka menganggap Tiongkok adalah negara leluhurnya dan menginginkan komunitas Tionghoa di Hindia Belanda berorientasi kepadanya.

Ketika Tiongkok gagal berkembang sebagai negara kuat dan makmur, lahir kelompok baru yang bernaung di dalam partai yang dinamakan Chung Hua Hui. Chung Hua Hui didirikan pada tahun 1927 oleh beberapa tokoh peranakan Tionghoa yang berpendidikan Belanda. Mereka menganggap Hindia Belanda sebagai bagian dari kerajaan Belanda sehingga menghendaki komunitas Tionghoa ber-orientasi ke negeri Belanda. Chung Hua Hui aktif berkampanye sehingga bisa mengisi kursi-kursi perwakilan Tionghoa di dalam Volksraad (Dewan Rakyat) yang dibentuk oleh penguasa Belanda.

Pada tahun 1932, lahirlah kelompok ketiga, dipimpin oleh Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Kelompok ini berargumentasi bahwa sebagian besar peranakan Tionghoa lahir, hidup dan meninggal di Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia adalah tanah airnya. Mereka juga memiliki visi jelas yaitu komunitas Tionghoa harus mendukung gerakan mencapai Indonesia yang merdeka karena di alam merdeka itulah komunitas Tionghoa bersama komunitas Indonesia lainnya akan mengecapi kebebasan mutlak, bebas dari penghinaan dan bebas dari penindasan. Lahirlah gerakan politik yang secara sadar beraliansi dengan arus induk di Indonesia. Sebuah visi yang memiliki dampak penting dan menjadi dasar kehadiran komunitas Tionghoa di Indonesia kini.

Visi perjuangan ini tidak bisa diterima oleh sebagian besar komunitas Tionghoa sehingga PTI tetap menjadi kelompok minoritas di zaman penjajahan Belanda. Akan tetapi para pemimpinnya tetap teguh dan menjalin hubungan baik dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia.

Adanya ketiga kelompok yang masing masing memiliki sarana pers dan perwakilan politik mendorong kesadaran politik di dalam tubuh komunitas Tionghoa. Yang kemudian menonjol dan berperan dalam melanjutkan kegiatan politik di zaman kemerdekaan adalah para tokoh ketiga kelompok yang di sebut di atas terurtama mereka yang berasal dari kelompok PTI, seperti Liem Koen Hian, Tan Ling Djie dan Tjoa Sik Ien serta beberapa anak didiknya, Oei Gee Hwat dan Siauw Giok Tjhan.

Pada masa pendudukan jepang, 1942-1945, tokoh-tokoh tersebut melanjutkan hubungan dekatnya dengan para tokoh nasional. Parallel dengan partisipasi tokoh-tokoh nasional di para-militer pembentukan Jepang, PETA, tokoh-tokoh Tionghoa, seperti Siauw Giok Tjhan turut pula memimpin pasukan para-militer bentukan Jepang khusus untuk komunitas Tioghoa, yang dinamakan Kebotai.

Kehadiran mereka di dalam kancah perjuangan mencapai kemerdekaan ini menyebabkan beberapa tokohnya seperti Liem Koen Hian dan Yap Tjwan Bing duduk di dalam Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia – turut merancang bentuk dan komposisi Negara Republik Indonesia.

Zaman Revolusi Indonesia ( 1945 – 1949 )

Terjalinnya hubungan baik antara para tokoh peranakan Tionghoa, terutama mereka yang bernaung di dalam PTI dengan para pejuang kemerdekaan Indonesia mendorong partisipasi politik di tingkat nasional.

Tan Ling Djie, Tjoa Sik Ien, Oei Gee Hwat dan Siauw Giok Tjhan masuk ke dalam Partai Sosialis, yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin dan Sjahrir. Banyak orang tidak mengetahui bahwa Partai Sosialis yang mendominasi pemerintahan Indonesia dari tahun 1945 hingga tahun 1948 ini menurut sertakan beberapa tokoh Tionghoa seperti Tan Ling Djie, Oei Gee Hwat dan Siauw Giok Tjhan di dalam tampuk pimpinannya. Bahkan Tan Ling Djie sebagai Sekretaris Jendral, bisa dikatakan paling berpengaruh di dalam partai tersebut. Mereka ini aktif berpartisipasi dalam menentukan berbagai kebijakan Partai Sosialis, baik dalam bidang eksekutif maupun legislatif.

Disamping kehadiran orang-orang Tionghoa di pemerintahan, terdapat juga wakil-wakil Tionghoa di KNIP (semacam MPR) dan Badan Pekerja (semacam DPR), diantaranya Yap Tjwan Bing, Tan Ling Djie dan Siauw Giok Tjhan.

Kehadiran efektif tokoh-tokoh Tionghoa di dalam Dewan Pimpinan Partai Sosialis dan Badan Legislatif ini menjamin tidak adanya UU atau peraturan-peraturan yang dengan sengaja menekan dan mendiskriminasikan komunitas Tionghoa.

Salah satu sumbangsih penting dari kehadiran mereka di dalam bidang legislatif (Badan Pekerja KNIP) adalah dikeluarkannya UU Kewarganegaraan RI 1946 yang menyebabkan semua orang keturunan Asing yang lahir di Indonesia menjadi Warga Negara Indonesia, dengan sistim pasif (hanya menjadi asing kalau mereka secara aktif menolak Kewarganegaraan Indonesia). Ini merupakan manifestasi prinsip yang dicanangkan oleh tokoh-tokoh PTI, yaitu semua orang Tionghoa yang berdomisili di Indonesia menjadikan Indonesia tanah airnya dan menjadi WNI.

Kabinet-kabinet Sjahrir (1946-1947) dan Amir Sjarifuddin (1947-1948) menganggap perlu adanya kementerian negara dengan tugas khusus: memperhatikan masalah minoritas. Kementerian negara ini diisi oleh Tan Po Goan (Kabinet Sjahrir) dan Siauw Giok Tjhan (Kabinet-Kabinet Amir Sjarifuddin).

Sikap pemerintah Partai Sosialis dengan sendirinya anti rasisme dan mengutuk semua tindakan-tindakan rasis.

Walaupun kekacauan-kekacauan rasis tetap terjadi, tetapi pemerintah dengan kesungguhan bertindak menanganinya: menyediakan tempat-tempat penampungan bagi korban-korban kekerasan, membebaskan orang-orang Tionghoa yang ditahan oleh laskar-laskar pemuda bersenjata dan mengancam untuk melakukan penembakan di tempat terhadap para pelaku tindakan rasis. Di sini jelas terlihat perbedaannya dengan pemerintahan sejak lengsernya Soeharto -- dari Habibie hingga SBY-- yang kerap menyuarakan pembelaan-pembelaan lisan terhadap komunitas Tionghoa, tetapi tindakan kongkrit-nya – dalam hal benar-benar menyediakan perlindungan nyata -- tidak dirasakan.

Zaman Demokrasi Parlementer

Di zaman demokrasi parlementer (1949-1959) terdapat cukup banyak anggota parlemen dari komunitas Tionghoa yang aktif mewakili berbagai partai politik. diantaranya Tan Po Goan sebagai wakil PSI, Oey Hay Djoen dan Tjoo Tik Tjoen mewakili PKI, Tony Wen, Tjoa Sie Hwie dan Yap Tjwan Bing mewakili PNI dan Tjung Tin Yan mewakili Partai Katolik.

Bersandar atas pengalamannya di Partai Sosialis, Siauw Giok Tjhan beranggapan bahwa aspirasi komunitas yang ia wakili tidak selalu sama dengan garis kebijakan sebuah partai politik. Terkadang hadir konflik yang mengharuskannya mengikuti disiplin partai. Oleh karenanya ia memilih berada di parlemen sebagai wakil komunitas Tionghoa tidak berpartai.

Akan tetapi ia tetap menjunjung tinggi prinsip bahwa perjuangannya tidak bisa terbatas atas semata-mata persoalan komunitas Tionghoa dan harus memiliki ruang lingkup nasional. Prinsip ini menyebabkan Siauw menjadi salah satu anggota parlemen teraktif dan berpengaruh dalam menyuarakan berbagai pandangan yang bernuansa nasional. Ia berhasil membentuk dan mengetuai sebuah fraksi yang cukup berpengaruh di dalam parlemen, Fraksi Nasional Progresif yang beranggotakan beberapa partai politik nasionalis kecil (diantaranya, Partai Murba, PRN, Acoma, SKI, Permai, Garindo dll) dan anggota non partai seperti Mohamad Yamin dan Iwa Kusuma Sumantri.

Kehadiran Siauw yang senantiasa didukung oleh fraksi Nasional Progresif dan para kawan dekatnya dari partai-partai politik yang berpengaruh di parlemen dan juga kehadiran para anggota parlemen Tionghoa lainnya berhasil melawan arus anti Tionghoa di dunia legislative. Banyak rancangan UU yang bersifat diskriminatif terhadap komunitas Tionghoa dicabut atau bilamana keluar, diperkecil dampaknya.

Pada masa demokrasi parlementer ini berlangsung sebuah perdebatan sengit tentang Kewarganegaraan Indonesia. Terdapat dua kubu yang saling bertentangan. Kubu pertama menginginkan UU Kewarganegaraan Indonesia 1946 dicabut – berarti semua keturunan Asing yang sudah secara hukum menjadi WNI kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya dan harus secara aktif mengajukan permohonan menjadi WNI dengan mengeluarkan bukti-bukti tertulis bahwa mereka lahir di Indonesia, orang tua pria-nya pun lahir di Indonesia. Kubu kedua ingin mempertahankan status hukum yang didasari atas UU kewarganegaraan 1946.

Perdebatan sengit ini mendorong dibentuknya Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) pada tahun 1954. Baperki yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan, didukung oleh fraksi Nasional Progresif di parlemen berhasil membatalkan rancangan UU kewarganegaraan yang diusulkan oleh kubu pertama tersebut di atas, sehingga yang pada akhirnya dikeluarkan adalah UU Kewarganegaraan 1958, yang jauh lebih menguntungkan posisi komunitas Tionghoa ketimbang apa yang diinginkan oleh para musuh politiknya.

Baperki yang berlandaskan program politik nasional – berprinsip bahwa masalah Tionghoa tidak bisa dipisahkan dari masalah nasional -- kemudian berkembang sebagai organisasi yang senantiasa membela kepentingan komunitas Tionghoa dalam melawan berbagai kebijakan diskriminatif. Secara sadar Baperki masuk dalam arus induk politik dan menjadikan penyelesaian masalah Tionghoa bagian dari masalah nasional.

Walaupun sebagian besar anggotanya suku Tionghoa, ia tidak tertutup untuk suku bangsa Indonesia lainnya. Turut mendukung dari dalam beberapa tokoh nasional yang dikatakan “asli” atau “pribumi” seperti Boejoeng Saleh, F.L Tobing, Adam Malik dan J Tumakaka.

Zaman Demokrasi Terpimpin

Di dalam zaman ini (1959-1965) peranan DPR berkurang. Peranan Kabinet dan DPA memegang peranan lebih besar dalam menentukan UU dan berbagai kebijakan pemerintah. Presiden Soekarno berkembang menjadi sebuah kekuatan politik yang hampir mutlak.

Kedekatan Siauw dengan Soekarno menyebabkan Baperki berkembang pesat di zaman ini. Hampir setiap program politik Baperki, yang berkaitan dengan penyelesaian masalah minoritas melalui proses integrasi (golongan Tionghoa dianggap sebagai salah satu suku bangsa Indonesia) diterima oleh pemerintah. Demikian juga program ekonomi-nya yang menginginkan modal-domestik digunakan untuk membangun ekonomi nasional. (Pengertiannya sederhana: Lebih baik menggunakan modal domestik – tidak perduli siapa yang memilikinya, daripada meminjam uang luar negeri. Keuntungan usaha domestik akan berputar di Indonesia. Keuntungan modal luar negeri akan dibawa ke luar negeri).

Baperki berkembang sebagai satu-satunya organisasi Tionghoa yang berhasil memberi pendidikan politik kepada para anggota dan simpatisannya – sebagian besar orang Tionghoa, baik yang peranakan maupun yang totok -- untuk menganggap dan mencintai Indonesia sebagai tanah airnya.

Kedekatan Baperki dengan Soekarno memang menyebabkannya berada di kekuatan politik “kiri” yang berhadapan dengan kekuatan politik “kanan”, yang dipimpin oleh pimpinan Angkatan Darat dan partai-partai Islam. Oleh karena itu, banyak orang yang menganggap Baperki sebagai organisasi komunis. Akan tetapi semua publikasi Baperki dan tulisan/pidato pemimpinnya, Siauw Giok Tjhan, tidak mencanangkan komunisme sebagai landasan Baperki.

Yang ditonjolkan Baperki adalah keinginan untuk menciptakan Sosialisme ala Indonesia, yang diprakarsai oleh Presiden Soekarno, sesuai dengan UUD 45. Perlu diingat bahwa massa Baperki adalah para pedagang kecil Tionghoa dan professionals yang tidak mungkin menerima paham komunisme. Disamping itu, program ekonomi Baperki, mengandung anjuran untuk mempertahankan sistim kapitalisme yang memungkinkan dikembangkannya modal domestik milik pedagang-pedagang WNI.

Di dalam zaman ini, posisi politik golongan Tionghoa, secara tertulis, dilindungi. Tindakan menggencetnya segera diserang dan dikutuk oleh Presiden Soekarno. Di dalam kabinet-kabinet-nya terdapat juga menteri-menteri Tionghoa, diantaranya Oei Tjoe Tat dan David Cheng. Di dalam DPA terdapat juga Siauw Giok Tjhan, yang juga duduk sebagai anggota DPR/MPRS. Kehadiran mereka turut mempengaruhi keluarnya UU/peraturan-peraturan serta GBHN (Garis Besar Haluan Negara) yang menguntungkan posisi golongan Tionghoa, khususnya dan rakyat Indonesia umumnya.

Akan tetapi aliansi politik dengan Soekarno dan golongan kiri ini menyebabkan turut diganyang oleh kekuatan kanan yang dipimpin oleh jendral Soeharto, yang pada akhirnya menggulingkan Soekarnoa pada tahun 1966. Baperki resmi dibubarkan pada bulan Maret 1966 dan banyak tokohnya, termasuk Siauw Giok Tjhan meringkuk di penjara tanpa proses hukum selama 12 tahun.

Zaman Orde Baru

Hancurnya Baperki dan lenyapnya para tokohnya didalam percaturan politik Indonesia diikuti dengan kehadiran berbagai kebijakan anti Tionghoa Di dalam zaman ini tidak ada lagi representasi efektif golongan Tionghoa, baik di pemerintahan maupun badan legislatif.

Posisi Baperki sebagai conduit politik antar pemerintah dan komunitas Tionghoa diganti oleh musuh politiknya, LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa) yang mencanangkan program assimilasi – menganjurkan orang Tionghoa menghilangkan ke-Tionghoaannya dengan mengganti nama, menanggalkan semua adat-istiadat Tionghoa dan kawin campuran. Ini menyebabkan dilegitimasikannya kebijakan assimilasi di Indonesia dan keluarlah berbagai kebijakan resmi yang berdasarkan paham assimilasi, di antaranya:

a. Larangan menggunakan bahasa Tionghoa
b. Larangan penjualan dan penyebaran bahan bacaan Tionghoa
c. Larangan merayakan tahun baru Imlek
d. Larangan pertunjukan Liang Liong dan barongsai
e. “pemaksaan” pergantian nama dari yang berkaitan dengan Tionghoa
menjadi non Tionghoa

LPKB secara sadar tidak berkembang sebagai organisasi massa dan tidak menginginkan komunitas Tionghoa ber-organisasi secara ke-Tionghoaan yang dianggapnya bersifat eksklusif. Tokoh-tokoh LPKB seperti Harry Tjan dan Jusuf Wanandi sangat berperan melalui CSIS dalam menentukan berbagai kebijakan pemerintah di awal Orde Baru. Melalui jalur ini mereka, dalam batas-batas tertentu, berhasil melindungi komunitas Tionghoa dari arus anti Tionghoa yang bangkit pada tahun-tahun 1965-1967.

Akan tetapi, mereka-pun, terutama setelah kedekatan dengan Soeharto berkurang pada tahun 1970-an, tidak berdaya membendung arus anti Tionghoa yang melahirkan berbagai kebijakan anti Tiongkok/Tionghoa yang bersandar atas kesan bahwa Tiongkok dan komunitas Tionghoa yang cenderung mendukung RRT sinonim dengan Komunisme. Keluarlah berbagai kebijakan rasis, di antaranya:

a. Ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa
b. Diadakan jatah untuk orang Tionghoa masuk universitas negara dan
posisi-posisi penting
c. Adanya tanda khusus di kartu penduduk untuk komunitas Tionghoa
d. Dikeluarkan dan dilaksanakan ratusan UU dan peraturan pemerintah yang
bersifat rasis

Di dalam zaman ini komuitas Tionghoa tidak bisa berpolitik dengan leluasa. Bahkan menonjolkan ke-Tionghoaannya dianggap merugikan, baik dari segi politik, ekonomi maupun sosial. Hanya beberapa orang yang memiliki keberanian dan kesungguhan luar biasa berani terjun dalam arena politik dan bersikap kritis terhadap pemerintah RI, diantaranya Arief Budiman dan mendiang Yap Thiam Hien.

Tindakan-tindakan semena-mena terhadap golongan Tionghoa dilegitimasikan. Tanpa adanya organisasi massa yang berpengaruh, tanpa adanya tokoh-tokoh politik yang berpengaruh dalam membela dan melindungi kepentingan komunitas Tionghoa, golongan ini digencet dan diperlakukan sebagai anak tiri di rumahnya sendiri.

Juga berkembang situasi di mana segelintir pedagang Tionghoa beraliansi dengan pimpinan pemerintah serta kronis-nya dalam menghisap rakyat dan menguras kekayaan Indonesia demi kepentingan golongan penguasa elite dan kronis-nya. Timbullah kesan salah bahwa komunitas Tionghoa secara keseluruhan berdosa akan kemiskinan yang meraja lela terutama pada saat Indonesia dilanda krisis moneter pada tahun-tahun 97 dan 98.

Paham assimilasi yang dilegitimasikan ternyata gagal dalam melahirkan keharmonisan masyarakat yang diimpikan para pencetusnya. Setelah melalui proses assimilasi yang dihukumkan selama 32 tahun, komunitas Tionghoa tetap menjadi sasaran rasis beberapa kali, terparah pada bulan Mei 1998.

Perkembangan di zaman ini menimbukan kesimpulan bahwa kekuatan politik yang semata-mata bersandar atas kekuatan tingkat atas pemerintah, tanpa kekuatan massa di lapisan akar rumput – grass roots tidak akan membuahkan perlindungan efektif dan jangka panjang. Juga timbul kesimpulan bahwa ke-efektifan sebuah organisasi dan program politiknya sangat tergantung atas sikon domestik dan internasional.
Baik Baperki maupun LPKB terlalu dekat dengan kekuatan politik tingkat atas. Kedekatan yang mengharuskan kedua organisasi ini menanggalkan berbagai prinsipnya dengan kenyataan pahit: harus menggigit jari ketika ada pergantian sikap di tingkat atas yang merugikan bahkan menegasi program politiknya.

0 komentar:

Posting Komentar