Selasa, 18 Mei 2010

Apa salah, AKU CINA

Shanghai 31 November 2005.
Gerimis salju yang bergulir keras bersamaan dengan tiupan angin yang lumayan kencang menghiasi kota shanghai sore itu. Kerlip lampu yang telah menyala turut mewarnai suasana di kota yang dikenal paling ramai di negara Cina. Di kanan kiri jalan sudah penuh dengan tumpukan salju yang menggunung. Terlihat satu dua orang petugas membersihkan tumpukan salju itu dari jalan. Menyingkirkannya ke tepi. Lengah sedikit saja tumpukan salju itu bisa mengganggu perjalanan para pengguna jalan. Dari arah berlawanan mobil berbagai jenis melaju pelan melawan derasnya arus salju yang turun lebih banyak sore itu.

Di sisi lain seperti kebiasaan orang Cina sejak dulu, meski salju turun cukup deras masih terlihat beberapa orang melintasi jalan dengan jaket tebal. Agak menggigil dan merapatkan jaket langkah demi langkah mereka lalui. Diantara mereka terlihat seorang gadis berjalan cepat melintasi jalan tersebut. Udara yang semakin dingin membuatnya makin tidak betah tinggal terlalu lama di luar.


“Baru sampai?” satu suara langsung mampir ditelinga ketika gadis tersebut melepas jaketnya. Hampir pukul enam saat dia menginjakkan kaki di rumah kecil yang telah ia huni bersama suaminya selama enam tahun . Dia mengibaskan jaket yang ia pegang. Beberapa salju rontok dari jaket itu.

“Di luar dingin sekali. Apa persediaan makanan kita masih ada?” gadis tersebut malah balik bertanya.
“Tadi aku habis belanja. Oh, ya Amy, habis makan malam ada yang ingin aku omongin sama kamu”
Kening Amy, gadis tersebut berkerut. Mau bicara kenapa harus nunggu sampai makan malam. Sekarang juga bisa. Tapi ia mengangguk juga. Dia sudah kedinginan. Yang dia inginkan hanya berlama-lama di depan perapian. Menghangatkan diri.

Secangkir teh ia hidangkan dihadapan Alan. Laki-laki yang telah bertahun-tahun menjadi suaminya. Di sampingnya ia duduk sambil menunggu Alan mengatakan apa yang tadi ingin dia ucapkan. Di luar salju turun semakin deras. Badai kecil pun mulai terasa. Dari dalam dia mengamati salju yang dulu pernah ia impikan. Sejak kecil. Tinggal di Shanghai dan dapat melihat salju dengan mata telanjang tak pernah ia duga sama sekali. Satu keuntungannya. Alan tahu ia sangat suka dengan salju. Jadi ruang tengah di rumah mereka dibuat tembus pandang keluar. Setiap waktu dia bisa melihat pemandangan di luar dari ruang tengah mereka.

“Bulan Januari setelah tahun baru kita harus balik ke Indonesia” ucap Alan mengawali pembicaraan mereka.
“Hah..apa?” Amy terlihat kaget sekali.
“Ke Indonesia honey. Aku di tugaskan kesana. Kemungkinan kita akan selamanya tinggal di Indonesia”
“Kenapa mendadak sekali?” protes Amy.
“Emang sengaja. Biar surprise. Lagi pula aku dapat tugas di sana. Apa kau tidak ingin kembali ke kampung halaman kita. Udah lama kita meninggalkan Indonesia”
Lemas tubuh Amy. Diiringi helaan napas panjang dia menyenderkan tubuhnya di sofa. Indonesia!!. Satu negara yang sangat tidak ingin dia kunjungi. Meski keadaannya sudah berubah total. Walaupun itu tempat kelahirannya, tapi kenangan pahit itu tidak bisa lepas dari ingatannya. Satu sebab itulah yang membuat ia lari dari negara yang mayoritas dihuni orang muslim itu.

Bandara Soekarno-Hatta.
Bau udara yang pertama kali Amy hirup sesampainya ia di Indonesia tidak berubah. Masih sama seperti dulu. Bandara internasional ini pun tidak banyak berubah meski enam tahun sudah ia tidak menginjakkan kaki di tempat yang dulu ia sebut Ibu pertiwi.

“Honey ayo, mau melamun berapa lama lagi” suara Alan membuatnya tersentak. Dia tersipu malu. Dan perlahan taxi yang membawa mereka ke hotel melaju cepat. Udara panas Jakarta merasuk ketubuh Amy. Rasanya dia perlu penyesuaian lagi. Bagaimana tidak. Biasanya di Shanghai sangat dingin.
“Besok kita akan mengunjungi Vivian. Apa kau masih ingat dengan dia?” lagi-lagi suara Alan mengagetkan dirinya. Rupanya dia terlalu banyak melamun.
“Vivian?” perlahan Amy memutar otaknya.
Vivian. Ia ingat. Gadis cantik bermata sipit dan berkulit putih yang telah menjadi temannya sejak kecil. Bagaimana kabarnya sekarang. Sejak kejadian menyakitkan itu.
“Kita kesana sekarang”Amy memutuskan dengan tiba-tiba. Kini giliran Alan yang tersentak.

******

R.S Jiwa Cikini.
Perlahan Amy membuka pintu kamar dimana Vivian dirawat. Baru pagi ini dia berhasil memasuki kamar sahabat kecilnya itu tanpa teriakan yang memekakan telinga. Tiga hari berturut-turut dia selalu mengunjungi Vivian. Bahkan begitu ia menginjakkan kaki di Indonesia. Gadis yang masih menyisakan kecantikannya dulu itu selalu berteriak keras begitu pintu kamarnya terkuak. Selama enam tahun itu terjadi. Untung dokter yang merawatnya sabar menghadapinya. Kata dokter Edo trauma yang ia alami sangat dalam hingga keadaanya seperti itu.

Vivian. Sampai kapan kenangan itu akan selalu menghantuimu. Dokter Edo sudah menceritakan semuanya. Setiap dokter Edo mendekatimu kau akan melempar apa pun yang ada didekatmu ke arah dokter yang sudah sangat sabar merawatmu. Kata dokter karena kejadian itu setiap melihat lelaki kau langsung berteriak histeris. Sedalam itukah luka hatimu. Dan aku yang mengaku sahabat sejatimu malah lari dari kenyataan dan meninggalkanmu sendirian menghadapi semua ini.

“Hanya orang terdekatnya yang mampu menyembuhkan dia” begitu kata dokter Edo.
Orang terdekat. Siapa lagi. Semua keluarganya tidak ada karena kejadian itu. sekarang hanya dirinya yang ada di sampingnya. Aku akan selalu di sampingmu Vivian. Mendukungmu. Amy semakin mendekat ke arah sahabatnya itu. Sesuatu yang dipeluk oleh dirinya perlahan diambilnya. Pias wajah Amy melihat apa yang sedari tadi dipeluk oleh Vivian. Foto mereka berempat saat masih kelas dua SMA. Dirinya, Vivian, Alan dan…Fahri. Vivian berteriak pelan. Mereka berebut. Tapi Amy tetap ingin melihat foto itu.
“Hiks…hiks..jangan diambil”perlahan tangis terdengar dari mulut Vivian. Tak lama kemudian air mata Amy pun menetes. Kau masih menyimpannya, Vi..!

April 1998.
“Apa?putus?” kaget Amy mendengar putusan Fahri malam itu setelah beberapa bulan hubungan mereka tak ada kejelasan.
“Bukan putus. Tapi rehat untuk sementara waktu” ralat Fahri meyakinkan Amy, gadis peranakan Tionghoa yang telah satu tahun dipacarinya itu.
“Apa bedanya. Kenapa Fahri?” tanya Amy ingin tahu. Fahri tak mampu memjawab.
“Kenapa?jawab Fahri. Kenapa diam?” desak Amy.
“Karena aku Cina. Iya. Seperti kata ayahmu itu kan?”
Fahri makin risau. Kata-kata itu dari dulu yang selalu menjadi sandungan hubungannya dengan Amy. Perbedaan suku mereka. Dirinya jawa tulen. Dan Amy yang keturunan Tionghoa. Sebenarnya itu tidak akan menjadi sebab jika ayahnya tidak mempersalahkan. Toh temannya yang lain bisa berdampingan dengan orang keturunan Cina yang lain. Hanya satu. Dendam ayahnya yang sampai sekarang tidak bisa hilang hingga masih membenci orang keturunan Cina. Kakak perempuannya mati mengenaskan setelah diperkosa. Dan pelakunya orang keturunan Cina. Karena kejadian itulah ayahnya membenci mereka. Apalagi kakaknya itu anak kesayangan. Bukan itu saja dogma kebencian pada orang Cina memang telah lama tertanam pada jiwa ayahnya. Kakek buyutnya tidak ada yang suka dengan orang Cina. Mereka dianggap mengotori bumi Indonesia. Seluruh bidang dan sektor mereka kuasai seakan menyingkirkan orang pribumi. Dan dirinya kenapa harus jatuh cinta pada orang keturunan Cina. Sebenarnya dia juga tidak ingin putus dengan Amy, tapi ayahnya terus memaksanya untuk memutuskan hubungannya dengan gadis itu atau dia tidak akan dianggap anak.

Setelah kejadian malam itu Fahri tidak pernah bertemu lagi dengan Amy. Di sekolah pun mereka jarang bertegur sapa. Walaupun satu kelas. Karena hal itu pula persahabatan mereka berempat pun renggang. Hingga satu bulan kemudian saat kejadian menyakitkan itu terjadi.

15 Mei 1998.
Gemuruh lautan manusia dan kobaran api mewarnai kota Jakarta siang itu. Reformasi yang selalu didengungkan di langit Jakarta akhir-akhir ini semakin membuat panas udara Jakarta. Demonstrasi yang kerap terjadi menambah jumlah kerusuhan. Puncaknya tanggal 14 Mei yang berakibat empat mahasiswa Trisakti harus menyerahkan nyawa mereka. Dan tidak selesai sampai di sini. Belum puas karena kejadian itu esoknya rusuh yang diatasnamakan pengadilan terhadap etnis Tionghoa memuncak.

Kobaran api serta penjarahan tak bisa diealakkan lagi. Orang Tionghoa yang tidak pernah menyangka akan mendapat kejadian seperti ini tentu tak bisa mengelak. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa ketika barang berharga mereka dijarah tanpa ampun. Mereka seakan tidak peduli. Yang ada dipikiran mereka hanya nyawa mereka yang berharga. Tapi rupanya barang berharga mereka tampaknya tidak cukup untuk dijarah orang pribumi. Satu yang sangat berharga bagi kebanyakan para Amoy(gadis cina) pun turut dijarah. Kehormatan mereka. Tak dapat disembunyikan berapa banyak para gadis yang telah menjadi korban pemerkosaan dihari itu. Seakan mereka hanya sampah yang pantas diinjak-injak. Tanpa ada rasa belas kasihan. Padahal dahulu mereka mengaku semua adalah saudara. Hidup dalam satu ibu pertiwi. Apa salah mereka?. Cukup menyakitkan pengorbanan mereka. Satu hal itu pula yang tidak bisa dilupakan oleh Amy. Betapa takutnya dia ketika satu sore dengan tiba-tiba rumah mereka didatangi orang banyak dan memaksa mereka menyerahkan harta benda yang mereka miliki. Dengan penuh ketakutan harta berharga diserahkan. Tapi rupanya itu belum cukup. Seperti korban Tionghoa yang lain. Kehormatan dirinya serta kakaknya pun harus diserahkan pula. Namun sepertinya Tuhan masih menyayangi dirinya. Ia masih bisa lari setelah ayahnya berhasil menyelamatkan dirinya dari cengkeraman orang pribumi yang tidak tahu diri itu. Tapi kenyataan pahit justru ia terima saat ia berhasil menyelamatkan diri. Dari Alan dia tahu kalau kedua orang tuanya tewas dalam kejadian itu. Dan kakaknya. Ayahnya tidak berhasil menyelamatkan dirinya. Karena malu kehormatannya telah terenggut dengan paksa dia mengakhiri hidupnya. Sahabatnya Vivian pun mengalami nasib yang sama. Seluruh keluarganya pun tak tersisa. Menangis perih hanya itu yang bisa dilakukan oleh Amy.

Kenapa itu harus terjadi pada dirinya. Dia kehilangan seluruh keluarganya. Dia merasa hidup ini tidak adil pada dirinya. Kenapa harus ada peristiwa ini. Sebenarnya apa salah mereka. Karena kulit mereka putih dan mata yang sipit?hingga mereka sepertinya tidak pantas hidup di negara ini. Saat itu hidup sebagai Tionghoa sepertinya sebuah bencana sekaligus kutukan. Orang pribumi itu tidak tahu bahwa selama ini mereka selalu dibedakan dalam hal apa pun. Untuk mendapatkan surat pengakuan sebagai warga Indonesia saja sulitnya bukan main. Padahal meski bukan orang Indonesia asli sebutan ibu pertiwi untuk negara ini seakan sudah merasuk kedalam sukma mereka. Tapi rupanya itu belum cukup. Dengan kasar bahkan mereka disebut mengotori bumi ini. Hingga harus diusir. Salahkah mereka jika terlahir sebagai orang Tionghoa di negara ini.

Amy tidak habis berpikir apa yang salah. Bahkan kekasihnya pun tidak lagi peduli padanya. Hanya karena dia keturunan Cina. Dia ditinggal begitu saja. Hanya Alan yang ada disampingnya memberi kekuatan. Kata-kata cinta yang diucapkan oleh Fahri menguap begitu saja.

“Cinta tidak mengenal perbedaan. Manusialah yang membuat perbedaan itu ada” kata Fahri satu kali ketika dirinya menyinggung perbedaan mereka. Dimana bukti kata itu. Semuanya hanya omong kosong.
Kini Amy hanya ingin mengubur semua kenangan yang menyakitkan itu. melupakan semuanya. Termasuk Fahri. Dia sudah menjadi masa lalu. Sekarang hanya ada Vivian yang ada disampingnya yang membutuhkan dirinya. Dia yang menjadi korban peristiwa itu membutuhkan dirinya. Dukungannya.
“Bagaimana keadaan Vivian?”
Alan telah berada disampingnya.
“Dia membutuhkan kita Alan” jawab Amy.
“Karena itulah aku membawamu kemari. Kita lupakan semuanya. Kejadian itu jangan diingat lagi. Karena Vivian membutuhkan kita”
Amy mengangguk pelan. Sekarang kau tidak sendirian, Vi…!.

29 Januari 2006.
Warna merah menyala memenuhi Jakarta. Genderang yang ditabuh pun turut memeriahkan perayaan Imlek tahun ini. Suara petasan tak henti terdengar. Iringan barongsai membuat suasana makin meriah. Baru kali ini Amy melihat perayaan Imlek di negara ini yang begitu meriah. Dahulu untuk merayakan Imlek pun mereka harus sembunyi-sembunyi. Sekarang seakan kata sembunyii itu tidak berlaku lagi. Mereka telah bebas. Mereka tak takut lagi akan identitas mereka. Sebagai orang Tionghoa mereka bangga turut memeriahkan ragam budaya Indonesia.

Ah, seandainya sejak dahulu ada seperti ini. Dia tidak akan merasa menyesal dilahirkan sebagai orang Tionghoa. Tak pernah ada kata-kata salah kenapa harus Cina. Dan dia tidak akan kehilangan orang yang dulu sempat ia sangat cintai. Fahri, bagaimana kau sekarang. Apa ayahmu masih kolot. Menganggap bahwa orang Tionghoa itu kotor.

“Maaf…” kata itu terdengar ditelinganya saat dia merasa tubuhnya disenggol dengan keras. Suasana saat itu memang ramai. Bukan hanya orang Tionghoa yang ada disana menyaksikan parade itu, orang non Tionghoa pun turut berbaur meramaikan. Amy menoleh. Dia kaget. Wajah yang ada di depannya tidak asing lagi. Ya, Tuhan…dia? Kau mentakdirkan aku untuk kembali bertemu dengannya.
Dan kata yang dulu sempat terucap kembali bergema.

0 komentar:

Posting Komentar