Akulturasi Cina Benteng, Wajah Lain Indonesia
TIDAK seperti Cina peranakan pada umumnya, Ong Gian (47) berkulit gelap. Matanya pun tidak sipit. Sehari-hari ia bekerja sebagai petani di Neglasari, Tangerang. Selain itu, ia juga awak kelompok kesenian gambang kromong yang sering tampil di acara-acara hajatan perkawinan.
Nenek moyangnya adalah Cina Hokkian yang datang ke Tangerang dan tinggal turun- temurun di kawasan Pasar Lama. Mereka masuk dengan perahu melalui Sungai Cisadane sejak lebih 300 tahun silam.
Cina Benteng memang selalu diidentifikasi dengan stereotip orang Cina berkulit hitam atau gelap, jagoan bela diri, dan hidupnya pas-pasan atau malah miskin. Sampai sekarang, ternyata mereka juga tetap miskin meski sudah jarang yang jago bela diri.
Meski ada beberapa yang sudah berhasil sebagai pedagang, sebagian besar Cina Benteng hidup sebagai petani, peternak, nelayan. Bahkan, ada juga pengayuh becak.
SEJARAH Cina Tangerang memang sulit dipisahkan dengan kawasan Pasar Lama (Jalan Ki Samaun dan sekitarnya) yang berada di tepi sungai dan merupakan permukiman pertama masyarakat Cina di sana. Struktur tata ruangnya sangat baik dan itu merupakan cikal-bakal Kota Tangerang. Mereka tinggal di tiga gang, yang sekarang dikenal sebagai Gang Kalipasir, Gang Tengah (Cirarab), dan Gang Gula (Cilangkap). Sayangnya, sekarang tinggal sedikit saja bangunan yang masih berciri khas pecinan.
Pada akhir tahun 1800-an, sejumlah orang Cina dipindahkan ke kawasan Pasar Baru dan sejak itu mulai menyebar ke daerah-daerah lainnya. Menurut Tagara Wijaya, yang bernama asli Oey Tjie Hoeng (77), yang menjabat Ketua Umum Klenteng Boen Sen Bio (1967-1978), Pasar Baru pada tempo dulu merupakan tempat transaksi (sistem barter) barang orang- orang Cina yang datang lewat sungai dengan penduduk lokal.
Mengenai asal-usul kata Cina Benteng, menurut sinolog dari Universitas Indonesia, Eddy Prabowo Witanto MA, tidak terlepas dari kehadiran Benteng Makassar. Benteng yang dibangun pada zaman kolonial Belanda itu-sekarang sudah rata dengan tanah-terletak di tepi Sungai Cisadane, di pusat Kota Tangerang.
Pada saat itu, kata Eddy, banyak orang Cina Tangerang yang kurang mampu tinggal di luar Benteng Makassar. Mereka terkonsentrasi di daerah sebelah utara, yaitu di Sewan dan Kampung Melayu. Mereka berdiam di sana sejak tahun 1700-an. Dari sanalah muncul, istilah “Cina Benteng”.
Tahun 1740, terjadi pemberontakan orang Cina menyusul keputusan Gubernur Jenderal Valkenier untuk menangkapi orang-orang Cina yang dicurigai. Mereka akan dikirim ke Sri Lanka untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan milik VOC.
Pemberontakan itu dibalas serangan serdadu kompeni ke perkampungan-perkampungan Cina di Batavia (Jakarta). Sedikitnya 10.000 orang tewas dan sejak itu banyak orang Cina mengungsi untuk mencari tempat baru di daerah Tangerang, seperti Mauk, Serpong, Cisoka, Legok, dan bahkan sampai Parung di daerah Bogor.
Itulah sebabnya banyak orang Cina yang tinggal di pedesaan di pelosok Tangerang-di luar pecinan di Pasar Lama dan Pasar Baru.
Meski demikian, menurut pemerhati budaya Cina Indonesia, David Kwa, mereka yang tinggal di luar Pasar Lama dan Pasar Baru itu tetap disebut sebagai Cina Benteng.
Sebagai kawasan permukiman Cina, di Pasar Lama dibangun kelenteng tertua, Boen Tek Bio, yang didirikan tahun 1684 dan merupakan bangunan paling tua di Tangerang. Lima tahun kemudian, 1869, di Pasar Baru dibangun kelenteng Boen San Bio (Nimmala).
Kedua kelenteng itulah saksi sejarah bahwa orang-orang Cina sudah berdiam di Tangerang lebih dari tiga abad silam.
Dalam penelitiannya, sarjana Seni Rupa dan Desain ITB Jurusan Desain Komunikasi Visual, Y Sherly Marianne, antara lain menyebutkan, sekitar 80 persen dari 19.191 warga Kelurahan Sukasari di Kotamadya Tangerang adalah orang Cina Benteng. Angka statistik April 2002 ini tidaklah mengherankan karena Pasar Lama masuk dalam wilayah Sukasari.
Menurut Sherly, kehidupan masyarakat Cina Benteng memang keras agar bisa bertahan hidup. Sebab, sebagian besar pekerjaan mereka bukan dalam bidang ekonomi, tetapi sebagai petani di pedesaan.
YANG unik dari masyarakat Cina Benteng adalah bahwa mereka sudah berakulturasi dan beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan lokal. Dalam percakapan sehari-hari, misalnya, mereka sudah tidak dapat lagi berbahasa Cina. Logat mereka bahkan sudah sangat Sunda pinggiran bercampur Betawi. Ini sangat berbeda dengan masyarakat Cina Singkawang, Kalimantan Barat, yang berbahasa ina meskipun hidup kesehariannya juga banyak yang petani miskin.
Logat Cina Benteng memang khas. Ketika mengucapkan kalimat, “Mau ke mana”, misalnya, kata “na” diucapkan lebih panjang sehingga terdengar “mau kemanaaaa”.
Di bidang kesenian, mereka memainkan musik gambang kromong yang merupakan bentuk lain akulturasi masyarakat Cina Benteng. Sebab, gambang kromong selalu dimainkan dalam pesta-pesta perkawinan, umumnya diwarnai tari cokek yang sebenarnya merupakan budaya tayub masyarakat Sunda pesisir seperti Indramayu.
Meski demikian, masyarakat Cina Benteng masih mempertahankan dan melestarikan adat istiadat nenek moyang mereka yang sudah ratusan tahun. Ini terlihat pada tata cara upacara perkawinan dan kematian. Salah satunya tampak pada keberadaan “Meja Abu” di setiap rumah orang Cina Benteng.
“Tidak usah dipertentangkan. Realitasnya, masyarakat Cina Benteng memang sudah berakulturasi dengan lingkungan lokal, tapi mereka juga masih memegang adat istiadat kepercayaan nenek moyang dan leluhur mereka,” kata Eddy.
Beberapa tradisi leluhur yang masih dipertahankan antara lain Cap Go Meh (perayaan 15 hari setelah Imlek), Pek Cun, Tiong Ciu Pia (kue bulan), dan Pek Gwee Cap Go (hari kesempurnaan).
Demikian pula panggilan encek, encim, dan engkong masih digunakan sebagai tanda hormat kepada orang yang lebih tua. “Juga salam (pai) tetap dipertahankan dalam keluarga Cina Benteng pada saat bertemu dengan orang lain,” kata Asiuntapura Markum (55) yang lahir di Tangerang.
Yang khas dari masyarakat Cina Benteng adalah pakaian pengantin yang merupakan campuran budaya Cina dan Betawi. Pakaian pengantin laki-laki, kata Eddy, merupakan pakaian kebesaran Dinasti Ching, seperti terlihat dari topinya, sedangkan pakaian pengantin perempuan hasil akulturasi Cina-Betawi yang tampak pada kembang goyang.
SECARA ekonomi, masyarakat tradisional Cina Benteng hidup pas-pasan sebagai petani, peternak, nelayan, buruh kecil, dan pedagang kecil.
Ny Kenny atau Lim Keng Nio (48) yang tinggal di Gang Cilangkap RT 03 RW 02, Kelurahan Sukasari, Tangerang, misalnya, setiap hari harus bangun pagi-pagi untuk membawa dagangan kue ke pasar. Ong Gian, petani sawah di Neglasari yang nyambi menjadi pemain musik gambang kromong, juga harus bekerja keras untuk bisa mempertahankan hidup.
Fenomena Cina Benteng, kata Eddy, merupakan bukti nyata betapa harmonisnya kebudayaan Cina dengan kebudayaan lokal. Lebih dari itu, keberadaan Cina Benteng seakan menegaskan bahwa tidak semua orang Cina memiliki posisi kuat dalam bidang ekonomi. Dengan keluguannya, mereka bahkan tak punya akses politik yang mendukung posisinya di bidang ekonomi.
David Kwa lebih melihat fenomena Cina Benteng sebagai contoh dan bukti nyata proses pembauran yang terjadi secara alamiah. Masyarakat Cina Benteng hampir tidak pernah mengalami friksi dengan etnis lainnya. Kenyataan ini membuat David yakin, persoalan sentimen etnis lebih bernuansa politis yang dikembangkan oleh orang-orang yang punya kepentingan politik.
Realitas Cina Benteng yang tinggal di pusat kekuasaan politik dan ekonomi menunjukkan, masyarakat etnis Cina sesungguhnya sama dengan etnis lainnya. Ada yang punya banyak uang, tetapi ada pula yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Bahkan, Ridwan Saidi, pengamat budaya dari Betawi, melihat realitas Cina Benteng sebagai wajah lain Indonesia. Ada yang kaya, tetapi tidak sedikit pula yang miskin.
Bagi mereka, wajar kalau perayaan Tahun Baru Imlek menjadi pengharapan agar rezeki di tahun baru ini lebih baik dari tahun sebelumnya. Wajar pula bahwa meski sudah berakulturasi begitu dalam, mereka tetap membeli bunga sedap malam dan bersembahyang di kelenteng-kelenteng.
Jumat, 19 November 2010
Sejarah Masyarakat Tionghoa di Bandung
Sejarah telah berkata bahwa bangsa China adalah bangsa yang ekspansif. Mereka menyebar ke berbagai belahan dunia, mulai dari ujung barat hingga ujung timur. Sifat ekspansif ini didorong oleh karakter budaya mereka sebagai pedagang. Sebutlah Jalur Sutra―rute perdagangan bangsa China kuno―yang termasyhur itu sebagai buktinya. Selain melalui darat, penyebaran mereka pun terjadi melalui laut. Salah satu tempat persebaran mereka adalah Indonesia.
Menurut catatan sejarah, bangsa China pertama kali datang ke Indonesia melalui ekspedisi Laksamana Haji Muhammad Cheng Hoo (1405-1433). Ketika itu Cheng Hoo berkeliling dunia untuk membuka jalur perdagangan sutra dan keramik. Cheng Hoo pun pernah menginjakkan kaki di Pulau Jawa. Sejak ekspedisi itu, berangsur-angsur bangsa China terus berdatangan dan membangun pecinan di beberapa daerah di Pulau Jawa, termasuk Bandung.
Sesuai dengan karakter budaya leluhur mereka, sebagian besar masyarakat Tionghoa (sebutan bagi masyarakat keturunan bangsa China di Indonesia) yang ada di Bandung pun melaksanakan kegiatan berdagang sebagai mata pencaharian mereka. Lokasi berdagang mereka tersebar di daerah-darah yang disebut dengan pecinan.
Kuncen Bandung, Haryoto Kunto, dalam Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (Granesia, 1984), menuturkan bahwa sebagian warga Tionghoa di Pulau Jawa pindah ke Bandung ketika terjadi perang Diponegoro (1825). Setiba di Bandung, sebagian besar dari mereka tinggal di kampung Suniaraja dan sekitar Jalan Pecinan Lama. Mereka kemudian menetap dan mencari nafkah disana.
Pada tahun 1885, mereka mulai menyebar ke Jalan Kelenteng. Pecinan di Jalan Kelenteng ditandai dengan pembangunan Vihara Satya Budhi. Menurut keterangan pengurus Vihara Satya Budhi, pecinan di Bandung seperti rumah-rumah toko pada umumnya, tak ada asesoris khusus seperti pecinan di daerah lain di Indonesia. Warganya pun beragam, tak hanya keturunan Tionghoa.
Pecinan berkembang pesat di sekitar Pasar Baru sejak 1905. Umumnya warga Tionghoa menjadi pedagang. Salah satunya, Tan Sioe How yang mendirikan kios jamu ”Babah Kuya” di Jalan Belakang Pasar pada tahun 1910. Bisa dikatakan, toko Babah Kuya merupakan salah satu perintis toko di kawasan ini. Selain Babah Kuya, warga Tionghoa lain pun banyak yang mendirikan kios.
Budayawan Tionghoa, Drs. Soeria Disastra, mengatakan bahwa pecinan memang ada, tapi tidak ada batasan. Maksudnya, hubungan warga Tionghoa dan Pribumi sekitar abad ke-19 dekat sekali. Akan tetapi, Belanda tidak senang melihat kedekatan itu. Belanda pun memisahkan Tionghoa dan pribumi dari segi ekonomi. Warga Tionghoa dijadikan perantara perekonomian bangsa Eropa dan pribumi. Mereka menjual rempah-rempah dari pribumi ke Belanda untuk di ekspor. Lama kelamaan kedekatan itu pun memudar.
Menurut Sie Tjoe Liong (75), generasi keempat pemilik kios ”Babah Kuya”, kawasan pecinan di Bandung terbentuk karena faktor politik. Warga pecinan tidak diizinkan berbaur dengan pribumi karna kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang memisahkan pemukiman orang asing dengan pribumi. Kebijakan itu tidak hanya untuk warga Tionghoa tetapi juga untuk Arab dan Eropa.
Selain di Pasar Baru, kawasan pecinan juga tumbuh di Suniaraja dan Citepus pada tahun 1914. Setiap pecinan dipimpin oleh Wijkmeester. Wijkmeester untuk daerah Suniaraja adalah Thung Pek Koey, sedangkan untuk daerah Citepus adalah Tan Nyim Coy. Wijkmeester dipimpin oleh seorang Luitennant der Chineeschen. Di Bandung, Luitennant-nya adalah Tan Djoen Liong (H. Buning, ”Maleische Almanak”, 1914). Para pemimpin Tionghoa itu diabadikan di beberapa tempat, misalnya di sekitar jalan Chinees-Wijk Citepus, ada pula Gang Goan Ann di Andir dan Jap Lun.
Sie Tjoe Liong menjelaskan, ketika peristiwa Bandung Lautan Api (1946). Kios-kios di Pasar Baru dibakar tentara Belanda. Wilayah Bandung terpisah menjadi bagian utara dan selatan. Kedua wilayah dibatasi rel kereta api yang membujur dari Cimahi hingga Kiaracondong. Wilayah utara dikuasai Belanda, sedangkan selatan oleh pribumi dan warga asing.
Akibat peristiwa itu, warga Tionghoa mengungsi ke kawasan Tegalega, Kosambi, Sudirman, dan Cimindi. Dengan demikian, dari Pasar Baru, kawasan pecinan meluas ke daerah-daerah tersebut. Warga Tionghoa dan pribumi pun bersatu kembali.
Belanda menyebut kawasan ini Groote Post Weg. Pada masa pemerintahan Orde Lama (1945-1968), pemerintah membatasi bidang ekonomi dan politik. Akan tetapi, menurut Soeria Disastra, dari segi kebudayaan pemerintah membuka pintu lebar-lebar. Lain lagi dengan pemerintahan Orde Baru (1968-1998), warga Tionghoa mengalami pembatasan di segala bidang, kecuali ekonomi. Lagi-lagi, jurang pemisah itu pun muncul lagi.
Akan tetapi, pada zaman Reformasi (1998-2008), kehidupan sudah lebih baik. Kebebasan yang diberikan mencakup hampir di segala bidang. ”Pengakuan Imlek sebagai libur nasional adalah hal yang sangat berarti bagi kami,” kata Soeria.
Saat ini, daerah Pecinan di Bandung semakin luas meliputi Jalan Pasar Baru, Jalan ABC, Jalan Banceuy, Jalan Gardu Jati, Jalan Cibadak, dan Jalan Pecinan Bandung. Sie Tjoe Liong berpesan agar warga pribumi dan Tionghoa tetap akur. ”Sekarang mah ga ada pecinan teh. Sudah berbaur. Interaksi antara warga Tionghoa dan pribumi telah berlangsung lama. Kita adalah bangsa Indonesia,” kata dia.
Menurut catatan sejarah, bangsa China pertama kali datang ke Indonesia melalui ekspedisi Laksamana Haji Muhammad Cheng Hoo (1405-1433). Ketika itu Cheng Hoo berkeliling dunia untuk membuka jalur perdagangan sutra dan keramik. Cheng Hoo pun pernah menginjakkan kaki di Pulau Jawa. Sejak ekspedisi itu, berangsur-angsur bangsa China terus berdatangan dan membangun pecinan di beberapa daerah di Pulau Jawa, termasuk Bandung.
Sesuai dengan karakter budaya leluhur mereka, sebagian besar masyarakat Tionghoa (sebutan bagi masyarakat keturunan bangsa China di Indonesia) yang ada di Bandung pun melaksanakan kegiatan berdagang sebagai mata pencaharian mereka. Lokasi berdagang mereka tersebar di daerah-darah yang disebut dengan pecinan.
Kuncen Bandung, Haryoto Kunto, dalam Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (Granesia, 1984), menuturkan bahwa sebagian warga Tionghoa di Pulau Jawa pindah ke Bandung ketika terjadi perang Diponegoro (1825). Setiba di Bandung, sebagian besar dari mereka tinggal di kampung Suniaraja dan sekitar Jalan Pecinan Lama. Mereka kemudian menetap dan mencari nafkah disana.
Pada tahun 1885, mereka mulai menyebar ke Jalan Kelenteng. Pecinan di Jalan Kelenteng ditandai dengan pembangunan Vihara Satya Budhi. Menurut keterangan pengurus Vihara Satya Budhi, pecinan di Bandung seperti rumah-rumah toko pada umumnya, tak ada asesoris khusus seperti pecinan di daerah lain di Indonesia. Warganya pun beragam, tak hanya keturunan Tionghoa.
Pecinan berkembang pesat di sekitar Pasar Baru sejak 1905. Umumnya warga Tionghoa menjadi pedagang. Salah satunya, Tan Sioe How yang mendirikan kios jamu ”Babah Kuya” di Jalan Belakang Pasar pada tahun 1910. Bisa dikatakan, toko Babah Kuya merupakan salah satu perintis toko di kawasan ini. Selain Babah Kuya, warga Tionghoa lain pun banyak yang mendirikan kios.
Budayawan Tionghoa, Drs. Soeria Disastra, mengatakan bahwa pecinan memang ada, tapi tidak ada batasan. Maksudnya, hubungan warga Tionghoa dan Pribumi sekitar abad ke-19 dekat sekali. Akan tetapi, Belanda tidak senang melihat kedekatan itu. Belanda pun memisahkan Tionghoa dan pribumi dari segi ekonomi. Warga Tionghoa dijadikan perantara perekonomian bangsa Eropa dan pribumi. Mereka menjual rempah-rempah dari pribumi ke Belanda untuk di ekspor. Lama kelamaan kedekatan itu pun memudar.
Menurut Sie Tjoe Liong (75), generasi keempat pemilik kios ”Babah Kuya”, kawasan pecinan di Bandung terbentuk karena faktor politik. Warga pecinan tidak diizinkan berbaur dengan pribumi karna kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang memisahkan pemukiman orang asing dengan pribumi. Kebijakan itu tidak hanya untuk warga Tionghoa tetapi juga untuk Arab dan Eropa.
Selain di Pasar Baru, kawasan pecinan juga tumbuh di Suniaraja dan Citepus pada tahun 1914. Setiap pecinan dipimpin oleh Wijkmeester. Wijkmeester untuk daerah Suniaraja adalah Thung Pek Koey, sedangkan untuk daerah Citepus adalah Tan Nyim Coy. Wijkmeester dipimpin oleh seorang Luitennant der Chineeschen. Di Bandung, Luitennant-nya adalah Tan Djoen Liong (H. Buning, ”Maleische Almanak”, 1914). Para pemimpin Tionghoa itu diabadikan di beberapa tempat, misalnya di sekitar jalan Chinees-Wijk Citepus, ada pula Gang Goan Ann di Andir dan Jap Lun.
Sie Tjoe Liong menjelaskan, ketika peristiwa Bandung Lautan Api (1946). Kios-kios di Pasar Baru dibakar tentara Belanda. Wilayah Bandung terpisah menjadi bagian utara dan selatan. Kedua wilayah dibatasi rel kereta api yang membujur dari Cimahi hingga Kiaracondong. Wilayah utara dikuasai Belanda, sedangkan selatan oleh pribumi dan warga asing.
Akibat peristiwa itu, warga Tionghoa mengungsi ke kawasan Tegalega, Kosambi, Sudirman, dan Cimindi. Dengan demikian, dari Pasar Baru, kawasan pecinan meluas ke daerah-daerah tersebut. Warga Tionghoa dan pribumi pun bersatu kembali.
Belanda menyebut kawasan ini Groote Post Weg. Pada masa pemerintahan Orde Lama (1945-1968), pemerintah membatasi bidang ekonomi dan politik. Akan tetapi, menurut Soeria Disastra, dari segi kebudayaan pemerintah membuka pintu lebar-lebar. Lain lagi dengan pemerintahan Orde Baru (1968-1998), warga Tionghoa mengalami pembatasan di segala bidang, kecuali ekonomi. Lagi-lagi, jurang pemisah itu pun muncul lagi.
Akan tetapi, pada zaman Reformasi (1998-2008), kehidupan sudah lebih baik. Kebebasan yang diberikan mencakup hampir di segala bidang. ”Pengakuan Imlek sebagai libur nasional adalah hal yang sangat berarti bagi kami,” kata Soeria.
Saat ini, daerah Pecinan di Bandung semakin luas meliputi Jalan Pasar Baru, Jalan ABC, Jalan Banceuy, Jalan Gardu Jati, Jalan Cibadak, dan Jalan Pecinan Bandung. Sie Tjoe Liong berpesan agar warga pribumi dan Tionghoa tetap akur. ”Sekarang mah ga ada pecinan teh. Sudah berbaur. Interaksi antara warga Tionghoa dan pribumi telah berlangsung lama. Kita adalah bangsa Indonesia,” kata dia.
Kamis, 18 November 2010
Peran Etnis Tionghoa dan Sejarah Kemerdekaan RI
Sejarah kemerdekaan Republik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran etnis Tionghoa yang memberikan dukungan tenaga, suplai logistik dan senjata. Keterlibatan etnis Tionghoa dalam upaya perjuangan menegakkan kemerdakaan RI, telah dimulai sejak lama.
Bahkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dilaksanakan dirumah seorang Tionghoa bernama Sie Kok Liong, yang sekarang dijadikan sebagai Museum Sumpah Pemuda.
Kita bisa menduga, sanksi seperti apa yang dijatuhkan pemerintah Kolonial Hindia Belanda kepada Sie Kok Liong yang mengizinkan pemuda Indonesia melaksanakan kongres di rumahnya. Namun demikian, nama Sie Kok Liong atau Muhammad Cia ini seakan mulai terhapus dari sejarah kemerdekaan Indonesia.
Selain Sie Kok Liong, keterlibatan etnis Tionghoa dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan RI juga dilakukan oleh Liem Koen Hian di Surabaya. Pada 1932, Liem Koen Hian mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI), yang perlu kita catat disini adalah digunakannya istilah Indonesia, yang waktu itu diharamkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Perlu diingat pula, pada saat itu etnis Tionghoa juga mengalami diskriminasi dan dikategorikan sebagai bangsa Timur Jauh oleh pihak penjajah Hindia Belanda.
Selain PTI juga ada gerakan bawah tanah yang bernama Chung Yang Hai Wei Ting Chin atau Chungking. Organisasi yang bermarkas di Malang ini dipimpin oleh Yap Bo Chin. Anggota Chungking ribuan orang dan tersebar merata di seluruh pulau Jawa.
Organisasi ini berwatak radikal, tak jarang mereka melakukan sabotase terhadap jaringan telepon dan membongkar rel kereta api. Tujuannya untuk menghambat proses komunikasi dan pengiriman logistik bagi tentara penjajah di daerah pedalaman.
Peran etnis Tionghoa dalam perjuangan bersenjata untuk menegakkan kemerdekaan Indonesia, tampak semakin kentara. Jaringan kolega kelompok etnis Tionghoa ini banyak membantu suplai logistik dan persenjataan yang diselundupkan dari Singapura.
Pasang Surut Etnis Tionghoa
Menjelang proklamasi kemerdekaan RI, setidaknya terdapat empat orang etnis Tionghoa yang duduk dalam Badan Penyelidik Upaya Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan seorang dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Sedangkan pada masa awal-awal kemerdekaan, etnis Tionghoa juga diberi peran politik. Dimana Mr. Tan Po Gwan diangkat menjadi Menteri Negara Urusan Tionghoa dalam kabinet Sjahrir kedua. Selain itu, dalam kabinet Amir Sjarifoedin diangkat dua menteri dari etnis Tionghoa. Yaitu, Siauw Giok Tjhan yang diangkat sebagai Menteri Negara mewakili etnis Tionghoa dan Dr. Ong Eng Die yang diangkat sebagai Wakil Menteri Keuangan.
Dr. Ong Eng Die ini selanjutnya ditunjuk sebagai Menteri Keuangan dalam kabinet Ali Sastroamidjojo. Selain Dr. Ong Eng Die, Ali Sastroaidjojo juga menunjuk Lie Kiat Teng sebagai Menteri Kesehatan.
Peran politik yang diberikan kepada etnis Tionghoa ini bukan melulu pada pemberian jabatan publik. Dalam politik diplomasi melalui serangkaian perundingan pun, pemerintah Indonesia juga menunjuk orang-orang dari etnis Tionghoa untuk duduk sebagai anggota tim delegasi. Dalam perjanjian Renville ada Dr. Tjoa Siek In, sementara dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) ada Dr. Sim Kie Ay.
Ketika Indonesia berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1950, terdapat enam orang etnis Tionghoa yang duduk dalam parlemen RIS. Mereka mewakili Negara Republik Indonesia dan Negara-negara bagian yang ada dalam konsep RIS.
Keenamnya adalah, Siauw Giaok Tjhan dan Drs. Yap Tjwan Bing (Wakil Republik Indonesia), Mr. Tan Tjin Leng (Negara Indonesia Timur), Ir. Tan Boen Aan dan Mr Tjoa Sie Hwi (Negara Jawa Timur) serta Tjoeng Lin Seng (Negara Kalimantan Barat)
Bahkan yang mengejutkan, dalam pemilu 1955 banyak orang Tionghoa yang berhasil menduduki kursi parlemen dan berangkat dari partai poltik Islam, yaitu Oei Tjeng Hien (Masjumi) serta Tan Oen Hong dan Tan Kim Long (NU).
Pada zaman orde baru, pemerintah melarang segala aktivitas yang berkaitan dengan budaya Tionghoa. Larangan ini bukan hanya membatasi aktivitas politik orang-orang Tionghoa, melainkan juga aktivitas budayanya. Bahkan pada masa ini dikeluarkan aturan bagi orang Tionghoa untuk mengganti namanya dengan nama Indonesia. Namun setelah reformasi, etnis Tionghoa memiliki ruang kembali untuk mengekspresikan nilai budaya dan kehendak politiknya secara bebas.
Bahkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dilaksanakan dirumah seorang Tionghoa bernama Sie Kok Liong, yang sekarang dijadikan sebagai Museum Sumpah Pemuda.
Kita bisa menduga, sanksi seperti apa yang dijatuhkan pemerintah Kolonial Hindia Belanda kepada Sie Kok Liong yang mengizinkan pemuda Indonesia melaksanakan kongres di rumahnya. Namun demikian, nama Sie Kok Liong atau Muhammad Cia ini seakan mulai terhapus dari sejarah kemerdekaan Indonesia.
Selain Sie Kok Liong, keterlibatan etnis Tionghoa dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan RI juga dilakukan oleh Liem Koen Hian di Surabaya. Pada 1932, Liem Koen Hian mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI), yang perlu kita catat disini adalah digunakannya istilah Indonesia, yang waktu itu diharamkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Perlu diingat pula, pada saat itu etnis Tionghoa juga mengalami diskriminasi dan dikategorikan sebagai bangsa Timur Jauh oleh pihak penjajah Hindia Belanda.
Selain PTI juga ada gerakan bawah tanah yang bernama Chung Yang Hai Wei Ting Chin atau Chungking. Organisasi yang bermarkas di Malang ini dipimpin oleh Yap Bo Chin. Anggota Chungking ribuan orang dan tersebar merata di seluruh pulau Jawa.
Organisasi ini berwatak radikal, tak jarang mereka melakukan sabotase terhadap jaringan telepon dan membongkar rel kereta api. Tujuannya untuk menghambat proses komunikasi dan pengiriman logistik bagi tentara penjajah di daerah pedalaman.
Peran etnis Tionghoa dalam perjuangan bersenjata untuk menegakkan kemerdekaan Indonesia, tampak semakin kentara. Jaringan kolega kelompok etnis Tionghoa ini banyak membantu suplai logistik dan persenjataan yang diselundupkan dari Singapura.
Pasang Surut Etnis Tionghoa
Menjelang proklamasi kemerdekaan RI, setidaknya terdapat empat orang etnis Tionghoa yang duduk dalam Badan Penyelidik Upaya Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan seorang dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Sedangkan pada masa awal-awal kemerdekaan, etnis Tionghoa juga diberi peran politik. Dimana Mr. Tan Po Gwan diangkat menjadi Menteri Negara Urusan Tionghoa dalam kabinet Sjahrir kedua. Selain itu, dalam kabinet Amir Sjarifoedin diangkat dua menteri dari etnis Tionghoa. Yaitu, Siauw Giok Tjhan yang diangkat sebagai Menteri Negara mewakili etnis Tionghoa dan Dr. Ong Eng Die yang diangkat sebagai Wakil Menteri Keuangan.
Dr. Ong Eng Die ini selanjutnya ditunjuk sebagai Menteri Keuangan dalam kabinet Ali Sastroamidjojo. Selain Dr. Ong Eng Die, Ali Sastroaidjojo juga menunjuk Lie Kiat Teng sebagai Menteri Kesehatan.
Peran politik yang diberikan kepada etnis Tionghoa ini bukan melulu pada pemberian jabatan publik. Dalam politik diplomasi melalui serangkaian perundingan pun, pemerintah Indonesia juga menunjuk orang-orang dari etnis Tionghoa untuk duduk sebagai anggota tim delegasi. Dalam perjanjian Renville ada Dr. Tjoa Siek In, sementara dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) ada Dr. Sim Kie Ay.
Ketika Indonesia berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1950, terdapat enam orang etnis Tionghoa yang duduk dalam parlemen RIS. Mereka mewakili Negara Republik Indonesia dan Negara-negara bagian yang ada dalam konsep RIS.
Keenamnya adalah, Siauw Giaok Tjhan dan Drs. Yap Tjwan Bing (Wakil Republik Indonesia), Mr. Tan Tjin Leng (Negara Indonesia Timur), Ir. Tan Boen Aan dan Mr Tjoa Sie Hwi (Negara Jawa Timur) serta Tjoeng Lin Seng (Negara Kalimantan Barat)
Bahkan yang mengejutkan, dalam pemilu 1955 banyak orang Tionghoa yang berhasil menduduki kursi parlemen dan berangkat dari partai poltik Islam, yaitu Oei Tjeng Hien (Masjumi) serta Tan Oen Hong dan Tan Kim Long (NU).
Pada zaman orde baru, pemerintah melarang segala aktivitas yang berkaitan dengan budaya Tionghoa. Larangan ini bukan hanya membatasi aktivitas politik orang-orang Tionghoa, melainkan juga aktivitas budayanya. Bahkan pada masa ini dikeluarkan aturan bagi orang Tionghoa untuk mengganti namanya dengan nama Indonesia. Namun setelah reformasi, etnis Tionghoa memiliki ruang kembali untuk mengekspresikan nilai budaya dan kehendak politiknya secara bebas.
Sejarah Masyarakat Tionghoa di Surabaya (1910-1946)
Komunitas Tionghoa yang tersebar di Indonesia merupakan komunitas yang masing-masing memiliki ciri khas dan tentunya memiliki sejarah tersendiri. Bahkan, sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya , Jaringan Asia menuliskan satu bab khusus ‘Warisan Cina’mengenai masuknya komunitas ini ke Jawa.
Komunitas Tionghoa tersebut dapat ditemui di hampir seluruh kota besar di Indonesia dengan variasi jumlah yang berbeda. Namun, tetap saja perlakuan terhadap mereka, sampai sekarang masih terasa diskriminatif dan dalam benak penduduk pribumi masih tersimpan stereotip yang memang sengaja dibuat sejak berabad-abad silam. Pun sejarah mencatat, peristiwa-peristiwa politis yang terjadi di Nusantara, mulai di masa VOC 1740 hingga reformasi 1998 selalu menyeret kelompok komunitas ini sebagai korban.
Salah satu kota besar tempat bermukim masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah Surabaya, Jawa Timur. Surabaya merupakan salah satu kota penting di Jawa dan salah satu kota tertua di Indonesia. Di masa kolonial, kota ini berkembang dan menjadi salah satu kota modern. Tidaklah mengherankan jika dalam satu buku panduan wisata dari awal abad ke-20 menyebutkan Surabaya sebagai pintu masuk di Jawa bagi para pelancong, di samping Batavia (Jakarta).
Awal abad ke-20, Surabaya berkembang menjadi kota dagang yang besar dan ramai. Hal ini dapat dilihat dari beragamnya masyarakat yang tinggal di kota tersebut. Dalam autobiografinya Soekarno menyebutkan Surabaya adalah kota pelabuhan yang sibuk dan ribut, lebih menyerupai kota New York. Pelabuhannya baik dan menjadi pusat perdagangan yang aktif. Surabaya juga menjadi kota tempat perlombaan dagang yang kuat dari orang-orang Tionghoa yang cerdas, ditambah arus yang besar dari para pelaut dan pedagang yang membawa berita-berita dari segala penjuru dunia.
Sebagai salah satu kelompok masyarakat yang datang dan menetap di Surabaya, jumlah orang Tionghoa semakin meningkat. Bila dibandingkan dengan kelompok imigran lain, Arab dan India, masyarakat Tionghoa menempati jumlah terbesar. Hal ini dapat dilihat dari data pada tahun 1920, penduduk Tionghoa di Surabaya berjumlah 18.020 orang, Arab 2.539 orang, dan etnik Timur Asing lainnya 165 orang.
Diangkat dari skripsi di jurusan sejarah Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada, buku Komunitas Tionghoa Surabaya (1910-1946) membahas masyarakat Tionghoa di Surabaya di masa kolonial yang dikaitkan dengan adanya gejolak sosial pada golongan Tionghoa. Penulis mencoba mengaitkan gejolak sosial masyarakat Tionghoa dengan kebijakan politik penguasa selama tiga masa.
Mulai dari pemerintah kolonial yang mengeluarkan peraturan yang membatasi gerak orang-orang Tionghoa seperti wijkenstelsel, passenstelsel (pas jalan), politierol (hal.69-79), peraturan masa pada pendudukan Jepang yang memerintahkan pada warga Tionghoa untuk menyediakan perempuan penghibur dari kalangan Tionghoa (hal.89) hingga berpuncak pada pemogokan selama 4 hari berturut-turut oleh pedagang dan pengusaha Tionghoa di Surabaya pada masa awal kemerdekaan 10 –13 Januari 1946. Pemogokan ini merupakan protes atas tingkah laku sewenang-wenang dan kambing hitam yang didasarkan pada diskriminasi rasial dalam penyediaan barang keperluan sehari-hari tentara dan personil pemerintahan pendudukan Sekutu. Pembahasan mengenai pemogokan ini secara lugas dapat dilihat pada bab 5 (hal.103-118) yang menjelaskan faktor-faktor yang mendorong terjadinya peristiwa pemogokan tersebut. Hanya saja dalam buku ini ada kesalahan cetak, tahun 1949 seharusnya dicetak 1946 (hal.103).
Secara khusus masyarakat Tionghoa di Surabaya dalam buku ini dibahas pada Bab 3 yang memuat keragaman asal usul yang terdiri dari berbagai suku bangsa, seperti Hokkian, Hakka, Teo-Chiu (hal.37-41), perbedaan antara orang Tionghoa totok (singkeh) dan peranakan (hal.41-45), ragam stratifikasi sosial (hal.45-48), agama dan kepercayaan (hal.48-50), organisasi-organisasi masyarakat Tionghoa (hal.50-54), jenis-jenis pekerjaan (hal.55-59), dan para pemimpin komunitas Tionghoa (hal.60-62).
Peraturan diskriminatif pada warga Tionghoa sebenarnya dapat ditelusuri ke belakang dengan melihat peraturan-peraturan yang dibuat berabad-abad lalu. Dalam Regeringsreglement tahun 1854, masyarakat Hindia Belanda dibagi dalam tiga golongan besar yaitu Europeanen (golongan orang Eropa), Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), dan Inlander (pribumi). Pada pembagian secara rasial ini, orang Tionghoa dimasukkan dalam kelompok Timur Asing bersama orang India, Arab, dan Melayu. Pemisahan ini dimaksudkan untuk alasan keamanan. Mereka diharuskan mengenakan pakaian khas, ciri khas fisik kelompoknya masing-masing, seperti penggunaan thaucang (kuncir) bagi para pria Tionghoa. Khusus untuk istilah golongan Vreemde Oosterlingen merupakan pergeseran nama dari Vreemdelingen yang berlaku pada abad ke-17 dan ke-18.
Peraturan berikutnya adalah wijkenstelsel, pemusatan pemukiman orang Tionghoa, yang dikeluarkan pada tahun 1866 dan dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indië No 57. Peraturan ini menyebutkan bahwa para pejabat setempat menunjuk tempat-tempat yang dapat digunakan sebagai wilayah pemukiman orang Tionghoa dan Timur Asing lainnya. Lagi-lagi, peraturan ini untuk keamanan. Maksudnya, supaya orang-orang tersebut mudah diawasi. Bagi mereka yang melanggar dengan tetap tinggal di luar dari wilayah yang telah ditentukan, akan dikenakan sanksi penjara atau denda sebesar 25-100 gulden dengan diberi batas waktu tinggal. Di Surabaya, tempat yang ditunjuk sebagai wilayah pemukiman orang Tionghoa adalah di sebelah timur Jembatan Merah, daerah di sepanjang aliran Sungai Mas seperti Kapasa, Kembang Jepun, Panggoeng, Songoyudan, Bibis, dan Bongkaran. Wilayah Pecinan ini tepat berada di depan kantor residen Surabaya.
Disamping wijkenstelsel ada pula peraturan lain yaitu passenstelsel yang berlaku sejak 1816. Orang Tionghoa harus membawa kartu pas jalan jika hendak mengadakan perjalanan keluar daerah. Bagi mereka yang tidak mendaftarkan diri dan ketahuan tidak membawa kartu tersebut dalam perjalanan akan dikenai sanksi hukuman atau denda sebesar 10 gulden. Peraturan ini sangat merepotkan orang Tionghoa, terutama dalam hal mengembangkan perdagangan mereka. Hal itu karena prosedur yang sulit dan waktu pembuatan yang cukup lama.
Dalam hal peradilan, sejak 1848 bagi masyarakat Tionghoa berlaku peradilan politierol. Maksudnya suatu peradilan polisi dimana kepala polisi berhak bertindak sebagai hakim. Ia berhak memberi keputusan hukuman tanpa harus mendengarkan keterangan saksi terlebih dahulu. Jelas, dalam sistem ini unsur pemerasan dan ketidakadilan seringkali terjadi.
Perlakuan pemerintah Hindia Belanda tersebut menimbulkan semangat dan keinginan untuk menggalang persatuan di antara orang-orang Tionghoa perantauan, Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang dibentuk pada 1900, Siang Hwee (Kamar dagang Tionghoa) yang dibentuk pada 1907, serta Chung Hua Hui. THHK dan Siang Hwee di Surabaya merupakan cabang dari Batavia. Mereka memiliki paham bahwa orang Tionghoa perantauan memiliki musuh bersama yaitu orang Belanda dan Eropa yang harus dihadapi dengan menguatkan perasaan nasionalisme. Pemerintah Hindia Belanda menganggap hal tersebut cukup berbahaya sehingga mereka mulai melonggarkan aturan yang membatasi orang Tionghoa dengan imbalan gerakan nasionalisme di kalangan Tionghoa harus dibatasi dan dikekang.
Hasil ketelitian dan kecermatan penulis dalam menggali sumber tertulis maupun lisan menghasilkan satu kajian lokal peranan masyarakat Tionghoa pada awal abad ke-20 di salah satu kota besar di Indonesia. Suatu hal yang patut dihargai untuk lebih dapat memahami peranan sejarah hubungan komunitas Tionghoa dengan komunitas lainnya di Nusantara, seperti halnya penerbitan ulang buku Indonesia dalam Api dan Bara, karya Tjamboek Berdoeri (Kwee Thiam Tjing) yang menggambarkan situasi kota Malang tahun 1939 hingga 1947.
Terlepas dari uniknya sejarah masing-masing komunitas Tionghoa di Indonesia tampaknya mereka masih mendapat perlakuan diskriminatif, misalnya dalam Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Penghapusan diskriminasi setelah Keppres No 56 tahun 1996 dan Inpres No 4 tahun 1999 sepertinya tidak efektif. Hal tersebut mungkin karena tidak jelasnya siapa (baca: lembaga mana) yang harus melakukannya. Apakah hanya tugas Departemen Kehakiman dan HAM semata?
Akhirnya kita semua pun harus dapat belajar dari sejarah untuk tidak mengulangi prasangka rasis gila yang menurut seorang prajurit Belanda di awal abad ke-20 dalam Gedenkschrift van een oud koloniaal sebagai hal yang menggelikan dan ide tolol.
Komunitas Tionghoa tersebut dapat ditemui di hampir seluruh kota besar di Indonesia dengan variasi jumlah yang berbeda. Namun, tetap saja perlakuan terhadap mereka, sampai sekarang masih terasa diskriminatif dan dalam benak penduduk pribumi masih tersimpan stereotip yang memang sengaja dibuat sejak berabad-abad silam. Pun sejarah mencatat, peristiwa-peristiwa politis yang terjadi di Nusantara, mulai di masa VOC 1740 hingga reformasi 1998 selalu menyeret kelompok komunitas ini sebagai korban.
Salah satu kota besar tempat bermukim masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah Surabaya, Jawa Timur. Surabaya merupakan salah satu kota penting di Jawa dan salah satu kota tertua di Indonesia. Di masa kolonial, kota ini berkembang dan menjadi salah satu kota modern. Tidaklah mengherankan jika dalam satu buku panduan wisata dari awal abad ke-20 menyebutkan Surabaya sebagai pintu masuk di Jawa bagi para pelancong, di samping Batavia (Jakarta).
Awal abad ke-20, Surabaya berkembang menjadi kota dagang yang besar dan ramai. Hal ini dapat dilihat dari beragamnya masyarakat yang tinggal di kota tersebut. Dalam autobiografinya Soekarno menyebutkan Surabaya adalah kota pelabuhan yang sibuk dan ribut, lebih menyerupai kota New York. Pelabuhannya baik dan menjadi pusat perdagangan yang aktif. Surabaya juga menjadi kota tempat perlombaan dagang yang kuat dari orang-orang Tionghoa yang cerdas, ditambah arus yang besar dari para pelaut dan pedagang yang membawa berita-berita dari segala penjuru dunia.
Sebagai salah satu kelompok masyarakat yang datang dan menetap di Surabaya, jumlah orang Tionghoa semakin meningkat. Bila dibandingkan dengan kelompok imigran lain, Arab dan India, masyarakat Tionghoa menempati jumlah terbesar. Hal ini dapat dilihat dari data pada tahun 1920, penduduk Tionghoa di Surabaya berjumlah 18.020 orang, Arab 2.539 orang, dan etnik Timur Asing lainnya 165 orang.
Diangkat dari skripsi di jurusan sejarah Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada, buku Komunitas Tionghoa Surabaya (1910-1946) membahas masyarakat Tionghoa di Surabaya di masa kolonial yang dikaitkan dengan adanya gejolak sosial pada golongan Tionghoa. Penulis mencoba mengaitkan gejolak sosial masyarakat Tionghoa dengan kebijakan politik penguasa selama tiga masa.
Mulai dari pemerintah kolonial yang mengeluarkan peraturan yang membatasi gerak orang-orang Tionghoa seperti wijkenstelsel, passenstelsel (pas jalan), politierol (hal.69-79), peraturan masa pada pendudukan Jepang yang memerintahkan pada warga Tionghoa untuk menyediakan perempuan penghibur dari kalangan Tionghoa (hal.89) hingga berpuncak pada pemogokan selama 4 hari berturut-turut oleh pedagang dan pengusaha Tionghoa di Surabaya pada masa awal kemerdekaan 10 –13 Januari 1946. Pemogokan ini merupakan protes atas tingkah laku sewenang-wenang dan kambing hitam yang didasarkan pada diskriminasi rasial dalam penyediaan barang keperluan sehari-hari tentara dan personil pemerintahan pendudukan Sekutu. Pembahasan mengenai pemogokan ini secara lugas dapat dilihat pada bab 5 (hal.103-118) yang menjelaskan faktor-faktor yang mendorong terjadinya peristiwa pemogokan tersebut. Hanya saja dalam buku ini ada kesalahan cetak, tahun 1949 seharusnya dicetak 1946 (hal.103).
Secara khusus masyarakat Tionghoa di Surabaya dalam buku ini dibahas pada Bab 3 yang memuat keragaman asal usul yang terdiri dari berbagai suku bangsa, seperti Hokkian, Hakka, Teo-Chiu (hal.37-41), perbedaan antara orang Tionghoa totok (singkeh) dan peranakan (hal.41-45), ragam stratifikasi sosial (hal.45-48), agama dan kepercayaan (hal.48-50), organisasi-organisasi masyarakat Tionghoa (hal.50-54), jenis-jenis pekerjaan (hal.55-59), dan para pemimpin komunitas Tionghoa (hal.60-62).
Peraturan diskriminatif pada warga Tionghoa sebenarnya dapat ditelusuri ke belakang dengan melihat peraturan-peraturan yang dibuat berabad-abad lalu. Dalam Regeringsreglement tahun 1854, masyarakat Hindia Belanda dibagi dalam tiga golongan besar yaitu Europeanen (golongan orang Eropa), Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), dan Inlander (pribumi). Pada pembagian secara rasial ini, orang Tionghoa dimasukkan dalam kelompok Timur Asing bersama orang India, Arab, dan Melayu. Pemisahan ini dimaksudkan untuk alasan keamanan. Mereka diharuskan mengenakan pakaian khas, ciri khas fisik kelompoknya masing-masing, seperti penggunaan thaucang (kuncir) bagi para pria Tionghoa. Khusus untuk istilah golongan Vreemde Oosterlingen merupakan pergeseran nama dari Vreemdelingen yang berlaku pada abad ke-17 dan ke-18.
Peraturan berikutnya adalah wijkenstelsel, pemusatan pemukiman orang Tionghoa, yang dikeluarkan pada tahun 1866 dan dimuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indië No 57. Peraturan ini menyebutkan bahwa para pejabat setempat menunjuk tempat-tempat yang dapat digunakan sebagai wilayah pemukiman orang Tionghoa dan Timur Asing lainnya. Lagi-lagi, peraturan ini untuk keamanan. Maksudnya, supaya orang-orang tersebut mudah diawasi. Bagi mereka yang melanggar dengan tetap tinggal di luar dari wilayah yang telah ditentukan, akan dikenakan sanksi penjara atau denda sebesar 25-100 gulden dengan diberi batas waktu tinggal. Di Surabaya, tempat yang ditunjuk sebagai wilayah pemukiman orang Tionghoa adalah di sebelah timur Jembatan Merah, daerah di sepanjang aliran Sungai Mas seperti Kapasa, Kembang Jepun, Panggoeng, Songoyudan, Bibis, dan Bongkaran. Wilayah Pecinan ini tepat berada di depan kantor residen Surabaya.
Disamping wijkenstelsel ada pula peraturan lain yaitu passenstelsel yang berlaku sejak 1816. Orang Tionghoa harus membawa kartu pas jalan jika hendak mengadakan perjalanan keluar daerah. Bagi mereka yang tidak mendaftarkan diri dan ketahuan tidak membawa kartu tersebut dalam perjalanan akan dikenai sanksi hukuman atau denda sebesar 10 gulden. Peraturan ini sangat merepotkan orang Tionghoa, terutama dalam hal mengembangkan perdagangan mereka. Hal itu karena prosedur yang sulit dan waktu pembuatan yang cukup lama.
Dalam hal peradilan, sejak 1848 bagi masyarakat Tionghoa berlaku peradilan politierol. Maksudnya suatu peradilan polisi dimana kepala polisi berhak bertindak sebagai hakim. Ia berhak memberi keputusan hukuman tanpa harus mendengarkan keterangan saksi terlebih dahulu. Jelas, dalam sistem ini unsur pemerasan dan ketidakadilan seringkali terjadi.
Perlakuan pemerintah Hindia Belanda tersebut menimbulkan semangat dan keinginan untuk menggalang persatuan di antara orang-orang Tionghoa perantauan, Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang dibentuk pada 1900, Siang Hwee (Kamar dagang Tionghoa) yang dibentuk pada 1907, serta Chung Hua Hui. THHK dan Siang Hwee di Surabaya merupakan cabang dari Batavia. Mereka memiliki paham bahwa orang Tionghoa perantauan memiliki musuh bersama yaitu orang Belanda dan Eropa yang harus dihadapi dengan menguatkan perasaan nasionalisme. Pemerintah Hindia Belanda menganggap hal tersebut cukup berbahaya sehingga mereka mulai melonggarkan aturan yang membatasi orang Tionghoa dengan imbalan gerakan nasionalisme di kalangan Tionghoa harus dibatasi dan dikekang.
Hasil ketelitian dan kecermatan penulis dalam menggali sumber tertulis maupun lisan menghasilkan satu kajian lokal peranan masyarakat Tionghoa pada awal abad ke-20 di salah satu kota besar di Indonesia. Suatu hal yang patut dihargai untuk lebih dapat memahami peranan sejarah hubungan komunitas Tionghoa dengan komunitas lainnya di Nusantara, seperti halnya penerbitan ulang buku Indonesia dalam Api dan Bara, karya Tjamboek Berdoeri (Kwee Thiam Tjing) yang menggambarkan situasi kota Malang tahun 1939 hingga 1947.
Terlepas dari uniknya sejarah masing-masing komunitas Tionghoa di Indonesia tampaknya mereka masih mendapat perlakuan diskriminatif, misalnya dalam Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Penghapusan diskriminasi setelah Keppres No 56 tahun 1996 dan Inpres No 4 tahun 1999 sepertinya tidak efektif. Hal tersebut mungkin karena tidak jelasnya siapa (baca: lembaga mana) yang harus melakukannya. Apakah hanya tugas Departemen Kehakiman dan HAM semata?
Akhirnya kita semua pun harus dapat belajar dari sejarah untuk tidak mengulangi prasangka rasis gila yang menurut seorang prajurit Belanda di awal abad ke-20 dalam Gedenkschrift van een oud koloniaal sebagai hal yang menggelikan dan ide tolol.
Sejarah Suku Tionghoa di Bangka Belitung,
:
Sejarah toleransi antarsuku, agama, ras, dan golongan di Kepulauan Bangka Belitung sudah terjalin sejak berabad-abad silam. Jalinan itu bermula dari kedatangan masyarakat China ke kepulauan itu, kemudian membaur bersama kelompok masyarakat Melayu, Jawa, Bugis, dan kelompok lain.
Penulis sejarah WP Goeneveldt, dalam buku Historical Notes on Indonesia and Malaya: Compiled from Chinese Source, menyebutkan, pembahasan tentang Pulau Bangka pernah ditulis dalam kitab klasik China, Hsing-cha Sheng-lan (tahun 1436). Diceritakan, Bangka Belitung merupakan wilayah kepulauan yang memiliki tradisi unik dan pemandangan indah dengan sungai-sungai dan tanah datar.
Sumber lain menyebutkan, komunitas China mulai menetap di Pulau Belitung tahun 1293. Saat akhir kejayaan Kerajaan Sriwijaya itu, rombongan kapal tentara China yang berlayar hendak menyerang Kerajaan Singasari, Jawa Timur, dihantam badai besar. Rombongan itu terdampar dan akhirnya menetap di Belitung. Pada abad ke-18 tentara China di bawah kepemimpinan Laksamana Cheng Ho juga sempat singgah di Pulau Belitung.
Kehadiran bangsa China secara besar-besaran di Kepulauan Bangka Belitung berawal dari penambangan timah pada awal abad ke-18. Mary F Somers Heidhues dalam Bangka Tin and Mentok Pepper memaparkan, ribuan pekerja asal China datang secara massal sebagai kuli kontrak di penambangan timah di Bangka dan Belitung tahun 1710.
Kuli kontrak itu umumnya berasal dari daerah utara Kwantung dan selatan Fukien, China, dan biasa disebut Hakka. Kadang, mereka dipanggil Xinke atau orang Khek. Selain itu, ada kaum Hokkian yang datang atas kemauan sendiri untuk berdagang. Kelompok lain yang datang adalah kelompok Hainan, Kanton, dan kelompok Techiu. Setiap kelompok memiliki bahasa sendiri-sendiri.
Sebagian kuli kontrak pulang kembali ke kampung halaman di China, sebagian lagi menetap di sejumlah kawasan di Pulau Belitung. Mereka yang tinggal rata-rata kaum lelaki dan akhirnya menikah dengan kaum perempuan lokal.
Menurut pengamat budaya asal Pangkalpinang, Willy Siswanto, sejarah ini memunculkan kesadaran bersama di antara masyarakat China dan Melayu serta kelompok lain di Bangka Belitung. Mereka sama-sama menyadari, kehidupan di kepulauan itu berangkat dari usaha timah. Kesadaran ini melahirkan kedekatan emosional dan ada perasaan senasib, tanpa memedulikan suku, ras, dan golongan.
Kesadaran itu lantas diturunkan dari generasi ke generasi, baik oleh masyarakat China, Melayu, maupun kelompok lain. Kebetulan sekali, kawasan Bangka Belitung tidak memiliki sejarah kerajaan besar yang mewariskan feodalisme-monarki sehingga tidak memicu budaya kelas. Tak ada stratifikasi sosial di kepulauan itu.
Meski ada ikatan sejarah, hubungan Melayu-Tionghoa di Bangka Belitung sebenarnya juga tak luput dari gesekan. Menurut Suhaimi Sulaiman, pada masa penjajahan Belanda, rasa iri terhadap orang-orang Tionghoa yang dianakemaskan oleh Belanda juga terjadi di wilayah kepulauan itu.
Namun, dalam perkembangannya, ketika Indonesia sudah merdeka, orang-orang Tionghoa di Bangka Belitung mulai berkolaborasi dengan orang-orang Melayu. ”Caranya ya itu tadi, mereka memberi berbagai kemudahan untuk orang Melayu,” kata Suhaimi.
Sejarah toleransi antarsuku, agama, ras, dan golongan di Kepulauan Bangka Belitung sudah terjalin sejak berabad-abad silam. Jalinan itu bermula dari kedatangan masyarakat China ke kepulauan itu, kemudian membaur bersama kelompok masyarakat Melayu, Jawa, Bugis, dan kelompok lain.
Penulis sejarah WP Goeneveldt, dalam buku Historical Notes on Indonesia and Malaya: Compiled from Chinese Source, menyebutkan, pembahasan tentang Pulau Bangka pernah ditulis dalam kitab klasik China, Hsing-cha Sheng-lan (tahun 1436). Diceritakan, Bangka Belitung merupakan wilayah kepulauan yang memiliki tradisi unik dan pemandangan indah dengan sungai-sungai dan tanah datar.
Sumber lain menyebutkan, komunitas China mulai menetap di Pulau Belitung tahun 1293. Saat akhir kejayaan Kerajaan Sriwijaya itu, rombongan kapal tentara China yang berlayar hendak menyerang Kerajaan Singasari, Jawa Timur, dihantam badai besar. Rombongan itu terdampar dan akhirnya menetap di Belitung. Pada abad ke-18 tentara China di bawah kepemimpinan Laksamana Cheng Ho juga sempat singgah di Pulau Belitung.
Kehadiran bangsa China secara besar-besaran di Kepulauan Bangka Belitung berawal dari penambangan timah pada awal abad ke-18. Mary F Somers Heidhues dalam Bangka Tin and Mentok Pepper memaparkan, ribuan pekerja asal China datang secara massal sebagai kuli kontrak di penambangan timah di Bangka dan Belitung tahun 1710.
Kuli kontrak itu umumnya berasal dari daerah utara Kwantung dan selatan Fukien, China, dan biasa disebut Hakka. Kadang, mereka dipanggil Xinke atau orang Khek. Selain itu, ada kaum Hokkian yang datang atas kemauan sendiri untuk berdagang. Kelompok lain yang datang adalah kelompok Hainan, Kanton, dan kelompok Techiu. Setiap kelompok memiliki bahasa sendiri-sendiri.
Sebagian kuli kontrak pulang kembali ke kampung halaman di China, sebagian lagi menetap di sejumlah kawasan di Pulau Belitung. Mereka yang tinggal rata-rata kaum lelaki dan akhirnya menikah dengan kaum perempuan lokal.
Menurut pengamat budaya asal Pangkalpinang, Willy Siswanto, sejarah ini memunculkan kesadaran bersama di antara masyarakat China dan Melayu serta kelompok lain di Bangka Belitung. Mereka sama-sama menyadari, kehidupan di kepulauan itu berangkat dari usaha timah. Kesadaran ini melahirkan kedekatan emosional dan ada perasaan senasib, tanpa memedulikan suku, ras, dan golongan.
Kesadaran itu lantas diturunkan dari generasi ke generasi, baik oleh masyarakat China, Melayu, maupun kelompok lain. Kebetulan sekali, kawasan Bangka Belitung tidak memiliki sejarah kerajaan besar yang mewariskan feodalisme-monarki sehingga tidak memicu budaya kelas. Tak ada stratifikasi sosial di kepulauan itu.
Meski ada ikatan sejarah, hubungan Melayu-Tionghoa di Bangka Belitung sebenarnya juga tak luput dari gesekan. Menurut Suhaimi Sulaiman, pada masa penjajahan Belanda, rasa iri terhadap orang-orang Tionghoa yang dianakemaskan oleh Belanda juga terjadi di wilayah kepulauan itu.
Namun, dalam perkembangannya, ketika Indonesia sudah merdeka, orang-orang Tionghoa di Bangka Belitung mulai berkolaborasi dengan orang-orang Melayu. ”Caranya ya itu tadi, mereka memberi berbagai kemudahan untuk orang Melayu,” kata Suhaimi.
Menelusuri Sejarah Etnis Tionghoa di Tangerang
Kota Tangerang mempunyai perjalanan sejarah tersendiri yang berhubungan dengan budaya Tionghoa. Kota yang dibelah oleh Sungai Cisadane ini, mempunyai kekhasan tersendiri menyangkut warga keturunan Tionghoanya, mereka dikenal dengan sebutan Cina Benteng. Kedatangannya sejak tahun 1700-an meninggalkan beberapa jejak penting yang sekarang masih dijaga kelestariannya.
Bersama dengan komunitas Historia, akhir Februari lalu penulis menyambangi beberapa situs budaya dan sejarah Tiong Hoa yang ada di kota Tangerang. Berkeliling menggunakan angkot, sambil ditemani udara panas Kota Tangerang, Perjalanan dimulai dari pukul sepuluh pagi hingga pukul tiga sore.
Klenteng Boen San Bio
Klenteng yang mempunyai nama lain Vihara Nimmala ini berada di kawasan Pasar Baru. Dengan usia 300 tahun, klenteng ini telah melalui berbagai perbaikan dan renovasi, terlebih sejak terjadinya kerusuhan 1998. Awalnya pada tahun 1689 klenteng ini hanyalah bangunan sederhana yang terdiri dari dinding Gedeg, tiang Bambu dan atap daun Rumbia.
Tepat bersebelahan dengan klenteng ini adalah Pura Kerta Jaya. Pura ini didirikan tahun 1988, kedua tempat ibadah ini merupakan gambaran toleransi akan keberagaman antar umat beragama di kota industri ini.
Klenteng Tjong Tek Bio dan Kampung Sewan Kongsi
Dari klenteng Boen San Bio, berlanjut ke klenteng Tjong Tek Bio. Nama lain dari klenteng ini adalah Vihara Maha Bodhi, berdiri pada tahun 1830, berada di daerah bernama Sewan Kongsi. Kampung Sewan sendiri berasal dari kata Sewaaan, wilayah kampung ini dulu disewakan kepada warga etnis Tionghoa untuk tempat tinggal dan berkebun.
Berada di dekat bendungan Pintu air 10, rumah – rumah di kampung ini masih banyak yang bergaya Tionghoa. Dengan pintu terletak di tengah diapit jendela, kusen bagian atas pintu selalu ditempelkan kertas berupa sajak dalam bahasa China yang biasa disebut Tuilian. Selain itu ada juga tulisan China yang ditulis diatas kertas berwarna merah atau kuning yang biasa disebut Hu, fungsinya sebagai penolak Bala.
Di belakang kampung ini,terlihat Bendungan Pintu Air 10 berdiri megah. Bendungan yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda ini dibangun pada tahun 1927 dan mulai dioperasikan pada tahun 1932. Disebut Bendungan Pintu Air 10 karena memang pada bendungan ini terdapat 10 buah pintu air yang dibuka tutup secara bergantian tergantung debit air sungai Cisadane. Bedungan ini dahulu berfungsi selain sebagai pengatur debit air sungai Cisadane juga sebagai sumber pengairan untuk 1.500 ha sawah kala itu.
Klenteng Tjo Su Bio dan kelenteng Boen tek Bio
Semakin siang, perjalanan dilanjutkan ke klenteng tua lainnya. Klenteng Tjo Su Bio berdiri pada tahun 1946, terletak di kampung Rawa Kucing . Tidak banyak yang istimewa dari klenteng ini, kecuali adanya patung Dewa Kera Sung Go Kong yang langsung jadi spot menarik untuk berfoto.
Lain dengan klenteng Boen Tek Bio, Boen berarti sastra, Tek artinya kebajikan dan bio artinya kelenteng. Tempat ini merupakan klenteng tertua di Kota Tangerang, berdiri pada tahun 1684. Dibangun atas atas bantuan secara gotong royong warga petak sembilan yang ada di Batavia. Di kompleks klenteng ini juga berdiri vihara Padumutara. Klenteng yang berada di kawasan Pasar Lama ini mempunyai tradisi selama ratusan tahun, yaitu ritual gotong Toapekong, patung –patung dewa dan perayaan Pe’cun. Lilin – lilin raksasa berdiri sebesar tubuh manusia di halaman depan, di sisi kiri dan kanan klenteng ini, terdapat ruang – ruang tempat berdoa dengan patung – patung dewa dewi yang berbeda – beda. Dewi Kwan Im adalah tuan rumah dari klenteng ini.
Dari klenteng tertua, kami pun beranjak menuju stasiun untuk kembali ke Jakarta. Puas rasanya berpanas –panas ria sambil menikmati warna – warni kelenteng, yang juga warna – warni kehidupan di Kota Tangerang.
Bersama dengan komunitas Historia, akhir Februari lalu penulis menyambangi beberapa situs budaya dan sejarah Tiong Hoa yang ada di kota Tangerang. Berkeliling menggunakan angkot, sambil ditemani udara panas Kota Tangerang, Perjalanan dimulai dari pukul sepuluh pagi hingga pukul tiga sore.
Klenteng Boen San Bio
Klenteng yang mempunyai nama lain Vihara Nimmala ini berada di kawasan Pasar Baru. Dengan usia 300 tahun, klenteng ini telah melalui berbagai perbaikan dan renovasi, terlebih sejak terjadinya kerusuhan 1998. Awalnya pada tahun 1689 klenteng ini hanyalah bangunan sederhana yang terdiri dari dinding Gedeg, tiang Bambu dan atap daun Rumbia.
Tepat bersebelahan dengan klenteng ini adalah Pura Kerta Jaya. Pura ini didirikan tahun 1988, kedua tempat ibadah ini merupakan gambaran toleransi akan keberagaman antar umat beragama di kota industri ini.
Klenteng Tjong Tek Bio dan Kampung Sewan Kongsi
Dari klenteng Boen San Bio, berlanjut ke klenteng Tjong Tek Bio. Nama lain dari klenteng ini adalah Vihara Maha Bodhi, berdiri pada tahun 1830, berada di daerah bernama Sewan Kongsi. Kampung Sewan sendiri berasal dari kata Sewaaan, wilayah kampung ini dulu disewakan kepada warga etnis Tionghoa untuk tempat tinggal dan berkebun.
Berada di dekat bendungan Pintu air 10, rumah – rumah di kampung ini masih banyak yang bergaya Tionghoa. Dengan pintu terletak di tengah diapit jendela, kusen bagian atas pintu selalu ditempelkan kertas berupa sajak dalam bahasa China yang biasa disebut Tuilian. Selain itu ada juga tulisan China yang ditulis diatas kertas berwarna merah atau kuning yang biasa disebut Hu, fungsinya sebagai penolak Bala.
Di belakang kampung ini,terlihat Bendungan Pintu Air 10 berdiri megah. Bendungan yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda ini dibangun pada tahun 1927 dan mulai dioperasikan pada tahun 1932. Disebut Bendungan Pintu Air 10 karena memang pada bendungan ini terdapat 10 buah pintu air yang dibuka tutup secara bergantian tergantung debit air sungai Cisadane. Bedungan ini dahulu berfungsi selain sebagai pengatur debit air sungai Cisadane juga sebagai sumber pengairan untuk 1.500 ha sawah kala itu.
Klenteng Tjo Su Bio dan kelenteng Boen tek Bio
Semakin siang, perjalanan dilanjutkan ke klenteng tua lainnya. Klenteng Tjo Su Bio berdiri pada tahun 1946, terletak di kampung Rawa Kucing . Tidak banyak yang istimewa dari klenteng ini, kecuali adanya patung Dewa Kera Sung Go Kong yang langsung jadi spot menarik untuk berfoto.
Lain dengan klenteng Boen Tek Bio, Boen berarti sastra, Tek artinya kebajikan dan bio artinya kelenteng. Tempat ini merupakan klenteng tertua di Kota Tangerang, berdiri pada tahun 1684. Dibangun atas atas bantuan secara gotong royong warga petak sembilan yang ada di Batavia. Di kompleks klenteng ini juga berdiri vihara Padumutara. Klenteng yang berada di kawasan Pasar Lama ini mempunyai tradisi selama ratusan tahun, yaitu ritual gotong Toapekong, patung –patung dewa dan perayaan Pe’cun. Lilin – lilin raksasa berdiri sebesar tubuh manusia di halaman depan, di sisi kiri dan kanan klenteng ini, terdapat ruang – ruang tempat berdoa dengan patung – patung dewa dewi yang berbeda – beda. Dewi Kwan Im adalah tuan rumah dari klenteng ini.
Dari klenteng tertua, kami pun beranjak menuju stasiun untuk kembali ke Jakarta. Puas rasanya berpanas –panas ria sambil menikmati warna – warni kelenteng, yang juga warna – warni kehidupan di Kota Tangerang.
Sejarah Tionghoa Di indonesia Yang terlupakan oleh Negara.
Sejarah Tionghoa Di indonesia Yang terlupakan oleh Negara
Milestone
1740 Pemberontakan orang tionghoa kepada VOC yg mengakibatkan Pembunuhan Rasial Terhadap Orang tionghoa selama 3 hari
di batavia
1848 Penggolongan system sosial secara ras oleh belanda
1850 Masuknya imigran tionghoa baru sebagai buruh perkebunan
1900 tiong hwa hwe koan thhk berdiri di batavia
1908 HCS sekolah belanda untuk orang tionghoa didirikan
1910 UU kewarganegaraan hindia belanda diterbitkan
1918 volksraad dibentuk belanda orang tionghoa memiliki wakil golongan tionghoa
1925 Pelarabgan pemindahan hak tanah kepada orang tionghoa
1927 Chung Hua Hui didirikan pada tahun 1927
1930 berdirinya Partai Tionghoa Indonesia di surabaya oleh liem Koen Hian
1946 beriri (SMH) SIN MING HUI atau sinar baru
peristiwa tanggerang anti tionghoa
1947 berdirinya po antui
1949 Partai Persatuan Tionghoa (PPT)
1950 Persatuan tionghoa berubah menjadi Partai Demokrasi Tionghoa Indonesia (PDTI)
1954 Badan Permusyaratan Kewarganegaran Indonesia (Baperki) Didirikan 12-13 Maret 1954
1955 Baperki mendirikan sekolah sekolah bagi orang tionghoa
Permusyawaratan Pemuda Indonesia (PPI) dilahirkan pada 28 Oktober 1955 undurbow Baperki
1958 berdirinya universitas res publika
1957 larangan anak tionghoa masuk sekolah belanda oleh jepang
1959 larangan org tionghoa berdagang di tingkat kabupaten/pedesaan kebawah hanya diperbolehkan di kota besar PP10
1962 berdirinya kampus URECA di surabaya
1963 kerusuhan anti tionghoa di jawabarat bandung dan sukabumi "peristiwa 10 mei" juga di jawa tengah
oei tjoe tat diangkat menjadi mentri
berdirinya Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) yg disponsori oleh Militer
Peng Koen Auw Jong dan Jakob Utama menerbitkan Intisari terbit 17 Agustus 1963 pertamakali
1965 Meletus G30S/PKI yg mengakibatkan huruhara penangkanpan, pembunuhan , peruskan toko serta rumah dan anti tionghoa sampai dengan tahun 1968
Universiat res publika dibakar massa pemuda dan mahasiswa 15 oktober
Universiat res publika diambil alih dan berganti universitas trisakti didirikan 29 november
1966 Bapaerki dibubarkan oleh instruksi suharto 12 maret
terbit Kep MPRS xxxii yg melarang pers menggunakanaksara cina
terbit Inpres no 14 tentang pelarangan agama ,kepercayaan serta adat istiadat tionghoa
Pengusiran dan pemulangan orang tionghoa
laporan penutup seminar AD ke 2/ 1966 untuk menganti kata tionghoa menjadi CINA
1967 Sekolah baperki di 25 cabang dibubarkan/membubarkan diri 3 desember
intruksi LPKB 003/vii-2/1967 an InstMen Dalam negri no 4 tentang ganti nama tionghoa
Demontrasi orang tionghoa atas kekerasan atas orang tionghoa di beberapa daerah april
Pembubaran LPKB melalui KePres No220 1967
Berdirinya (SCUT) Staf Chusus Urusan Tjina sbg penerus tugas LPKB
1968 Kerusuhan anti cina di Surabaya
Kerusuhan anti cina di glodok oleh RPKAD
SNPC Sekolah nasional proyek chusus oleh SCUT
1970 Kerusuhan anti cina di manado
1973 pencabutan terbit Kep MPRS xxxii yg melarang pers menggunakanaksara cina
Kerusuhan anti cina di bandung
1974 Berdiri BPKB badan pembina kesatuan bangsa di jakarta oelh gubernur jakarta
Kerusuhan anti cina di jakarta
1975 SNPC Sekolah nasional proyek chusus dibubarkan
1977 terbit InMen dalam Negri no x01 mengenai K1 kusus warga tionghoa dijakarta
pekan komunikasi penghayatan Kesatuan Bangsa dr sini muncul ide mendirikan BAKOMPKB
Berdirinya BAKOMPKB yg merupakan neoLPKB
1978 terbit peraturan mentri kehakiman JB 3/4/12 ttg SKBRI
Surat Edaran Mendagri no 477/74054 1978 ttg petunjuk pengisian kolam agama yg melarang agama tidak resmi
1980 InPres no 2 1980 dan Kepres no 13
1983 KepMen Kehakiman M01-HL04.02 SKBRI hny menjadi syarat warga yg memiliki dwikewarganegaraan
1996 Terbitnya Kepres yg mencabut SKBRI
1998 Kerusuhan rasial anti tionghoa 13-14 mei di jakarta, solo, medan , surabaya
Berdirinya SNB dan gandi
1999 berdirinya INTI, PSMTI,PARTI, SIMPATIK
Peringatan 1 tahun Kerusuhan Mei oleh simpatik di reruntuhan Glodok City jakarta barat
2000 Simpatik Melakukan Demonstrasi Di Depan Istana Negara Menuntut penuntasan
Pencabutan Inpres no 14 tentang pelarangan agama ,kepercayaan serta adat istiadat tionghoa oleh pres gusdur
Pencabutan Surat Edaran Mendagri no 477/74054 1978 ttg petunjuk pengisian kolam agama yg melarang agama tidak resmi
2004 kabupaten/Kota Solo Menerbitkan intruksi SKBRI tidak digunakan lagi
2006 Aug RUU kewarganegaraan disah kan menghapus kata WNI "asli/pribumi non pribumi" hasil kerja yayasan gandi(Gerakan Anti Diskriminasi) dan anggota DPR Murdaya Po diperjuangkan oleh orang tionghoa Wahyu Effendi dan teman KPC melati Keluaga Perkawinan Campur antar warga asing
2006 Des RUU Adminduk telah disahkan dan menghapus segala bentuk diskriminasi warga tionghoa dalam pencatatan Akta Lahir, Akta Pernikahan, Akta Kematian masuk sekolah/universitas,pembuatan pasport tanpa memerlukan SBKRI dan implementasi di lapangan dapat melaporkan kepada yang berwajib akan kena denda dan hukuman
Milestone
1740 Pemberontakan orang tionghoa kepada VOC yg mengakibatkan Pembunuhan Rasial Terhadap Orang tionghoa selama 3 hari
di batavia
1848 Penggolongan system sosial secara ras oleh belanda
1850 Masuknya imigran tionghoa baru sebagai buruh perkebunan
1900 tiong hwa hwe koan thhk berdiri di batavia
1908 HCS sekolah belanda untuk orang tionghoa didirikan
1910 UU kewarganegaraan hindia belanda diterbitkan
1918 volksraad dibentuk belanda orang tionghoa memiliki wakil golongan tionghoa
1925 Pelarabgan pemindahan hak tanah kepada orang tionghoa
1927 Chung Hua Hui didirikan pada tahun 1927
1930 berdirinya Partai Tionghoa Indonesia di surabaya oleh liem Koen Hian
1946 beriri (SMH) SIN MING HUI atau sinar baru
peristiwa tanggerang anti tionghoa
1947 berdirinya po antui
1949 Partai Persatuan Tionghoa (PPT)
1950 Persatuan tionghoa berubah menjadi Partai Demokrasi Tionghoa Indonesia (PDTI)
1954 Badan Permusyaratan Kewarganegaran Indonesia (Baperki) Didirikan 12-13 Maret 1954
1955 Baperki mendirikan sekolah sekolah bagi orang tionghoa
Permusyawaratan Pemuda Indonesia (PPI) dilahirkan pada 28 Oktober 1955 undurbow Baperki
1958 berdirinya universitas res publika
1957 larangan anak tionghoa masuk sekolah belanda oleh jepang
1959 larangan org tionghoa berdagang di tingkat kabupaten/pedesaan kebawah hanya diperbolehkan di kota besar PP10
1962 berdirinya kampus URECA di surabaya
1963 kerusuhan anti tionghoa di jawabarat bandung dan sukabumi "peristiwa 10 mei" juga di jawa tengah
oei tjoe tat diangkat menjadi mentri
berdirinya Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) yg disponsori oleh Militer
Peng Koen Auw Jong dan Jakob Utama menerbitkan Intisari terbit 17 Agustus 1963 pertamakali
1965 Meletus G30S/PKI yg mengakibatkan huruhara penangkanpan, pembunuhan , peruskan toko serta rumah dan anti tionghoa sampai dengan tahun 1968
Universiat res publika dibakar massa pemuda dan mahasiswa 15 oktober
Universiat res publika diambil alih dan berganti universitas trisakti didirikan 29 november
1966 Bapaerki dibubarkan oleh instruksi suharto 12 maret
terbit Kep MPRS xxxii yg melarang pers menggunakanaksara cina
terbit Inpres no 14 tentang pelarangan agama ,kepercayaan serta adat istiadat tionghoa
Pengusiran dan pemulangan orang tionghoa
laporan penutup seminar AD ke 2/ 1966 untuk menganti kata tionghoa menjadi CINA
1967 Sekolah baperki di 25 cabang dibubarkan/membubarkan diri 3 desember
intruksi LPKB 003/vii-2/1967 an InstMen Dalam negri no 4 tentang ganti nama tionghoa
Demontrasi orang tionghoa atas kekerasan atas orang tionghoa di beberapa daerah april
Pembubaran LPKB melalui KePres No220 1967
Berdirinya (SCUT) Staf Chusus Urusan Tjina sbg penerus tugas LPKB
1968 Kerusuhan anti cina di Surabaya
Kerusuhan anti cina di glodok oleh RPKAD
SNPC Sekolah nasional proyek chusus oleh SCUT
1970 Kerusuhan anti cina di manado
1973 pencabutan terbit Kep MPRS xxxii yg melarang pers menggunakanaksara cina
Kerusuhan anti cina di bandung
1974 Berdiri BPKB badan pembina kesatuan bangsa di jakarta oelh gubernur jakarta
Kerusuhan anti cina di jakarta
1975 SNPC Sekolah nasional proyek chusus dibubarkan
1977 terbit InMen dalam Negri no x01 mengenai K1 kusus warga tionghoa dijakarta
pekan komunikasi penghayatan Kesatuan Bangsa dr sini muncul ide mendirikan BAKOMPKB
Berdirinya BAKOMPKB yg merupakan neoLPKB
1978 terbit peraturan mentri kehakiman JB 3/4/12 ttg SKBRI
Surat Edaran Mendagri no 477/74054 1978 ttg petunjuk pengisian kolam agama yg melarang agama tidak resmi
1980 InPres no 2 1980 dan Kepres no 13
1983 KepMen Kehakiman M01-HL04.02 SKBRI hny menjadi syarat warga yg memiliki dwikewarganegaraan
1996 Terbitnya Kepres yg mencabut SKBRI
1998 Kerusuhan rasial anti tionghoa 13-14 mei di jakarta, solo, medan , surabaya
Berdirinya SNB dan gandi
1999 berdirinya INTI, PSMTI,PARTI, SIMPATIK
Peringatan 1 tahun Kerusuhan Mei oleh simpatik di reruntuhan Glodok City jakarta barat
2000 Simpatik Melakukan Demonstrasi Di Depan Istana Negara Menuntut penuntasan
Pencabutan Inpres no 14 tentang pelarangan agama ,kepercayaan serta adat istiadat tionghoa oleh pres gusdur
Pencabutan Surat Edaran Mendagri no 477/74054 1978 ttg petunjuk pengisian kolam agama yg melarang agama tidak resmi
2004 kabupaten/Kota Solo Menerbitkan intruksi SKBRI tidak digunakan lagi
2006 Aug RUU kewarganegaraan disah kan menghapus kata WNI "asli/pribumi non pribumi" hasil kerja yayasan gandi(Gerakan Anti Diskriminasi) dan anggota DPR Murdaya Po diperjuangkan oleh orang tionghoa Wahyu Effendi dan teman KPC melati Keluaga Perkawinan Campur antar warga asing
2006 Des RUU Adminduk telah disahkan dan menghapus segala bentuk diskriminasi warga tionghoa dalam pencatatan Akta Lahir, Akta Pernikahan, Akta Kematian masuk sekolah/universitas,pembuatan pasport tanpa memerlukan SBKRI dan implementasi di lapangan dapat melaporkan kepada yang berwajib akan kena denda dan hukuman