Butuh satu jam untuk mengenal seseorang, satu hari untuk jatuh cinta, namun untuk melupakannya bisa jadi butuh seumur hidup.
Pagi belum lagi beranjak siang, namun langit di atas kota Jakarta kelabu tua. Mendung menyelimutinya. Hujan turun rintik-rintik. Air yang jatuh dari atas langit bagai jutaan jarum lembut. Membasahi genting, dedaunan, lalu mengalir sepanjang jalan menuju selokan.
Hari ini adalah hari keempat belas Astri berada di rumah sakit. Setelah dioperasi pada hari pertama dan beristirahat total selama hampir dua minggu, dia akhirnya diperbolehkan pulang. Luka-luka di kakinya sudah mengering. Semua barang-barang Astri juga sudah dimasukkan ke mobil.
Gadis itu mencoba berdiri meski dengan bantuan tongkat.
"Pagi, Dok!" sapanya begitu melihat dokter yang ikut membantu perawatannya sedang berbicara dengan seorang suster di pintu kamar.
Dokter muda itu memandangnya sejenak, lalu membalas sapaannya.
"Sudah mau pulang?"
"Ya, Dokter. Sekalian saya mau pamit."
"Baiklah, Astri. Satu saja pesan saya, hidup harus berjalan terus. Kamu tetap kuat dan tabah ya? Selain berusaha menjaga kondisi badan, mulailah berlatih berjalan setahap demi setahap."
Astri mengangguk. "Terima kasih atas bantuannya, Dokter."
Lalu dibantu papa dan mamanya, gadis itu masuk ke dalam mobil. Semenit kemudian, mobil sedan yang membawanya telah melaju di jalan.
Astri beralih ke tepi jendela. Hujan masih menyisakan rintiknya. Dia teringat kembali tentang Kevin, cowok yang sangat dicintainya, yang dulu pernah menemaninya merenda hari. Sampai detik ini, Astri belum mampu melupakannya. Padahal cukup hitungan waktu untuk mengenang kehangatan dan cinta Kevin padanya. Kecelakaan mobil telah membawa cowok itu tidur lelap ditemani kedamaian. Sementara Astri terpuruk dalam kesendiriannya kini.
Memang, tak seorang pun dapat menduga kapan musibah itu datang. Semuanya terjadi begitu cepat. Astri sama sekali tak pernah menyangka, malam itu adalah malam terakhir dia bersama Kevin. Cowok itu mengajaknya dinner bareng seminggu menjelang keberangkatannya untuk melanjutkan sekolah ke negeri Paman Sam.
"Jika rentang waktu setahun ada 365 hari, maka berapa kali matahari terbenam yang akan kita lewatkan hingga kita bertemu lagi?"
"Aku nggak tahu, Vin." Astri menatap kosong. Dia bahkan belum menyentuh potongan steak -nya yang terhidang di meja.
"Suatu hari nanti, aku ingin kita bisa menikmati matahari terbit bersama-sama. Begitu terus setiap hari." Kevin menggenggam jemari Astri lembut. Mencoba memberi keyakinan pada gadis itu.
Tapi nyatanya, apa yang terjadi sungguh ironis.
Astri masih ingat betul, dalam perjalanan pulang Kevin membanting setir mobilnya ke kanan guna menghindari tabrakan dengan mobil depan yang ngerem mendadak. Namun bukannya terhindar dari maut, tiba-tiba malah muncul mobil dari arah sebaliknya menabrak mereka.
Mobil Kevin yang ringsek berat menjadi saksi bisu betapa kecelakaan itu demikian parah dan tak menyisakan ampun. Saat keduanya tak sadarkan diri di rumah sakit, cowok itu duluan menghembuskan napas terakhirnya. Astri beruntung masih selamat. Dia hanya menderita patah kaki ringan dan beberapa luka gores.
***
Satu tahun lebih berlalu....
Tak mudah memang bagi Astri menjalani hari dengan trauma yang masih membekas. Tak seorang pun juga begitu ambil pusing dengan sikapnya yang tertutup dan cenderung pendiam. Ya, kecuali Andhika.
Kring! Begitu bel kampus berbunyi, Astri bergegas meninggalkan ruangan. Rasanya ingin cepat-cepat pulang karena begitu banyak yang harus dikerjakannya di rumah siang ini.
"Astri, tunggu! Aku mau ngomong."
Astri memperlambat langkahnya sambil menoleh ke arah suara yang memanggil namanya. Tampak Dhika berlari-lari kecil ke arahnya. Sedikit terengah begitu berhasil menjejeri langkahnya.
"Aku nggak punya banyak waktu," Astri lantas memotong seraya membalikkan tubuhnya.
"Please, aku cuma pengen nanya. Boleh nggak aku ke rumah kamu malam minggu ini?" imbuh Dhika sambil tersenyum kikuk.
"Kenapa? Beberapa jam aja nggak lihat aku bikin kangen, ya?" tatapan mata Astri melunak.
"Jadi boleh ya aku main ke rumahmu?"
"Siapa yang bilang boleh?" Astri mendelik. "Aku sibuk!"
"Sibuk? Emangnya mulai punya bisnis apaan?"
Astri tertawa kecil. Andhika yang baik selalu mengingatkannya pada Kevin. Tubuhnya yang tinggi menjulang, kulitnya yang putih serta senyum baby face-nya seolah menjelma pada diri Dhika. Hanya saja....
Astri menarik napas dalam-dalam. "Pokoknya nggak boleh, kecuali...."
"Kecuali apa?"
"Kecuali kamu bisa mempertemukan aku dengan Kevin," tantang gadis itu.
Dhika terperangah. Permintaan itu terasa janggal. Gimana mungkin mempertemukan orang yang masih hidup dengan orang yang sudah nggak ada di dunia ini? Astri hanya mengada-ada.
Dan itu menjadi beban batinnya. Ternyata, menyadarkan seseorang yang terbelenggu cinta tak semudah yang dibayangkannya. Sayang dia keburu terbius oleh gadis itu. Sejak perkenalan pertama beberapa tahun silam, sebelum Astri akhirnya menjadi milik Kevin. Kalaupun saat itu dia memutuskan untuk mundur, itu semata karena Dhika yakin Kevin dapat membahagiakan gadis yang sedikit manja itu.
Perkiraannya tidak meleset. Semuanya berlangsung baik-baik saja. Sampai tiba-tiba kabar buruk itu diterima: Kevin meninggal akibat kecelakaan mobil.
***
Astri menggenggam sebuah boneka beruang kecil di tangannya. Hadiah dari Kevin di hari jadi mereka pacaran.
"Aku bakal ngasih kamu boneka beruang ini di setiap tahun hari jadi kita. Sampe meja belajar kamu penuh! Sebab aku ingin kita selalu bersama," kata Kevin suatu saat.
Astri mengenang hal itu dengan pahit. Hari ini seharusnya hari jadi mereka yang kedua, kalo Kevin masih hidup tentunya. Betapa Astri kangen dengan senyum, tawa, perhatian, bahkan omelan cowok itu saat dirinya lupa sarapan pagi. Sudah setahun pula Astri terus menyalahkan dirinya atas kecelakaan yang menimpa Kevin. Andai saat itu dia nggak mengganggu konsentrasi Kevin menyetir dengan mengajaknya ngobrol. Andai dinner itu tak pernah ada. Ah, andai....
Sebuah ketukan di pintu membangunkan lamunannya.
"Astri, ada temanmu yang datang. Kalo nggak salah namanya Dhika."
"Eh... iya, Ma." Astri buru-buru menyusut airmatanya.
Ngapain lagi Dhika kemari? Bukannya dia sudah bilang nggak usah mampir?
Di ruang tamu, Astri melihat cowok itu sedang duduk terpekur menatap lantai. Wajahnya langsung sumringah begitu melihat dirinya.
"Hai!" sapa Dhika spontan. Astri Cuma bisa diam mematung di ujung meja. Dhika kelihatan begitu lembut malam ini, dan dia begitu tampan dengan kemeja putihnya itu.
"Malam minggu nggak keluar?" tanya cowok itu lagi.
Astri menggeleng. "Mana ada yang pengen ngajak cewek kuper lagi berantakan kayak aku kencan di malam Minggu."
"Kamu serius? Aku mau!"
Astri tersenyum simpul. Cowok di hadapannya ini, tak putus-putusnya menghibur dirinya sejak kepergian Kevin. Astri tidak buta. Dia sadar perhatian Dhika selama ini.
"Tapi kamu belum mengabulkan permintaanku. Kamu belum mempertemukan aku dengan Kevin," Astri mengingatkan.
"Astri... kamu tahu sendiri kan hal itu nggak mungkin," sahut Dhika.
"Terserah."
"Sampe kapan kamu mau terus mengurung diri, As? Aku yakin Kevin juga nggak suka ngeliat kamu kayak gini," suara Dhika terdengar lembut tapi tegas.
"Kalo nggak suka, kamu boleh kok nggak peduli," jawab Astri dingin.
"Aku peduli, karena aku sayang sama kamu!" jawab Dhika gemas.
"Maafin aku, Dhika. Tapi Kevin tetap hidup di hatiku," jawab Astri setengah terbata. Kevin, kamu di mana? Berilah aku suatu pertanda kalo kamu juga nggak pernah ngelupain aku, bisiknya.
"Jangan berburuk sangka dulu. Aku nggak pernah minta kamu ngelupain Kevin, As. Aku cuma pengen kamu membuka diri bagi orang-orang di sekitarmu. Kan kamu sendiri yang bilang, kita harus menghargai waktu yang ada bersama orang-orang yang kita sayangi. Dan aku menghargai waktu yang aku punya bersama kamu!"
Astri terpana mendengar ucapan Dhika. Ada rasa haru menyeruak di hatinya.
"Aku suka sama kamu sejak dulu, As. Sejak kita pertama kali kenalan. Aku pengen kamu kembali ceria kayak dulu lagi," pinta Dhika sambil tersenyum manis.
"Thanks, Dhika. Tapi aku...."
Dhika mengeluarkan sesuatu yang disembunyikannya sejak tadi. Astaga! Sebuah boneka beruang kecil. Antara percaya dan tidak percaya, Astri menatap takjub saat tangan Dhika terulur padanya.
"Tadi sebelum ke sini, aku melihat boneka ini. Lalu aku berpikir untuk membelikannya untukmu karena setahuku kamu suka pernak-pernik beruang. Sebuah awal yang bagus bukan? Jadi di kamarmu nggak melulu koleksi barang dari Kevin." Lagi-lagi senyum tulus mengembang di wajah cowok itu.
Astri menerimanya dengan hati berdebar.
***
Angin malam menerpa ketika Astri membuka jendela kamarnya. Poninya tersibak. Antara suka dan lara bergayut di hatinya. Astri memandang boneka beruang kecil pemberian Dhika di tangannya, lalu menatap ke atas, menembus kelamnya langit di malam hari.
Astri tersenyum tipis. Dipejamkannya mata. Alangkah terasa kehadiran Kevin di sisinya. Entah kenapa kedamaian tiba-tiba menyelimutinya.
"Kevin," gumamnya lirih, "Aku nggak akan pernah melupakanmu meskipun kini sudah menerima uluran tangan Dhika untuk mengisi kekosongan hati ini, yang akan menemaniku melangkah di lembaran baru. Semoga kamu mendapatkan kebahagiaan di tempatmu yang sekarang."
Angin kembali berdesir. Astri membiarkan jendelanya tetap terbuka.
Sementara dari atas sana, betapa seseorang yang berpakaian seputih kapas itu tersenyum dan tampak melambai hangat kepadanya dari atas sana
by.Tisana wong
0 komentar:
Posting Komentar